Selasa 08 Jul 2014 12:32 WIB

parenting- Kampanye Hitam

Red:

Rabu (9/7), Indonesia akan menentukan pemimpin negaranya. Sepanjang kampanye calon presiden (capres), orang dewasa sering mencontohkan yang tidak baik, misalnya, dengan merekayasa foto capres atau menyebarkan fitnah. Mereka mengabaikan batas kepatutan dan membuat suasana menjadi semakin panas.

Meski belum memiliki hak pilih, anak-anak usia SD dan SMP juga banyak menaruh perhatian terhadap kampanye hitam. Fenomena tersebut menciptakan tantangan pengasuhan tersendiri bagi orang tua. Ayah dan bunda banyak yang kesulitan menjelaskan alasan orang berbuat seperti itu. Di lain sisi, mereka ingin agar anaknya sedari kecil memiliki rem yang bagus atas dorongan negatif, tak meniru perilaku manipulatif simpatisan capres dan mengerti batas kepatutan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Yasin Habibi/Republika

Stop Kampanye Hitam

Psikolog Dra Evita mengatakan, sebenarnya Pemilihan Presiden 2014 ini merupakan kesempatan mengajarkan anak tentang demokrasi. Tentunya, bukan demokrasi yang membabi buta, tapi demokrasi yang konotasinya positif. Persoalannya, fakta di lapangan justru sebaliknya. Anak malah mendapatkan pelajaran demokrasi yang negatif.

Orang tua tentunya harus berperan dalam mendampingi anandanya mencermati perkembangan kondisi negaranya. Orang tua harus memahami ketika anak sudah kelas empat sekolah dasar, kemampuan nalarnya sudah baik. Di lain sisi, ia belum tahu sepenuhnya mengenai fitnah. Akan tetapi, ia dapat mengenali hal negatif yang disampaikan orang-orang dewasa selama kampanye capres ini.

Ketika mendengar kata "sinting" terlontar dari salah satu pendukung capres, anak akan memaknainya sesuai dengan pemahamannya. Begitu pula saat kata "penculik" yang tertuju kepada salah satu capres masuk ke telinga kecilnya. Mendengarnya, anak akan mengasosiasikannya dengan pengetahuannya, lalu mengganggap itu betul. "Anak memaknai apa adanya, sebab kemampuan berbahasa anak berbeda dengan orang dewasa," ujar dosen Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini.

Ketika mengetahui anak sudah mendengar komentar atau kata-kata negatif tersebut, orang tua sebaiknya meluangkan waktu dan langsung membahasnya dengan anak. Jelaskan makna sebenarnya yang terkandung dalam kata-kata tersebut. "Anak mesti mengenali ini konteksnya politik," kata Evita.

Jika anak sudah telanjur memahaminya secara negatif atau anak menirukan komentar yang tidak tepat, orang tua harus mengoreksi. Katakan pada anak bahwa yang didengar atau dilihat anak itu belum tentu benar. "Coba tanyakan, anak dengar dari mana dan sampaikan itu belum tentu benar," ujar Evita.

Namun, ayah dan ibu sebaiknya tak menuding atau merendahkan kemampuan nalar anaknya. Orang tua hanya perlu mengembalikan pemahaman anak ke relnya yang benar. Kalau tuduhan terhadap salah satu capres belum terbukti, ajarkan pada anak untuk tidak boleh langsung percaya. Biasakan anak tidak berprasangka buruk.

***

Prasangka Buruk

Ketika berada di keramaian dan anak mendengar orang dewasa mengatakan hal yang belum tentu benar mengenai capres, orang tua yang berada di samping anak harus langsung meluruskan masalah tersebut. Siapa pun yang ada di dekat anak berkewajiban mengambil peran tersebut. "Di sinilah pentingnya informal educatation," kata Evita.

Jika orang tua lepas tangan dan tidak segera bertindak, dampaknya ke depan anak bisa menjadi mudah berprasangka kepada orang lain. Anak akan menjadi pribadi yang mudah membicarakan orang lain dan berbuat yang tidak sesuai fakta. Oleh karena itu, Evita menyarankan agar orang tua membiasakan keluarganya hidup jujur, sehingga anak mendapat contoh yang tepat sejak usia dini. Ajarkan anak mengenai konsep kejujuran. Biasakan anak mengatakan yang sebenarnya agar ke depannya ia menjadi generasi jujur.

Selain itu, orang tua juga harus memperkenalkan aturan kehidupan yang baik pada anak. Ajarkan sikap menghargai untuk membentuk anak agar dapat menghargai dirinya sendiri dan orang lain. Cara ini akan membuat anak memiliki rem moral yang bagus sedari kecil. Anak menjadi kenal batas kepatutan dan tidak suka memfitnah. Ia tak akan tumbuh menjadi orang yang manipulatif.

Agar anak tak mudah berprasangka buruk, orang tua bisa mengajarkan anak untuk mencari dahulu kebenarannya. Contohnya, ada dalam kehidupan sehari-hari. Biasanya, ketika melihat anak lain memegang barang yang sama dengan milik ananda, si kecil otomatis mengira barangnya diambil temannya.

Orang tua tak boleh ikut menuduh hal yang sama. Sebaliknya, orang tua harus menyampaikan kepada anaknya anggapan tersebut belum tentu benar. Ajak anak untuk mencari dulu kebenarannya, misalnya, dengan mencari dahulu barang kepunyaan si kecil atau melihat dahulu barang yang ada di temannya. Jika terbukti barang tersebut memang milik ananda, jelaskan pada anak itu mengambil barang orang lain bukan hal yang patut ditiru. "Penjelasan seperti ini sekaligus menjadi penguatan moral untuk anak," papar Evita.

Setiap orang dewasa, lanjut Evita, harus berperan mendidik anak. Sebab, anak tidak hanya berinteraksi dengan orang tua saja, tapi juga dengan anggota keluarga lainnya, guru, dan masyarakat umum. Mereka semua harus bekerja sama membentuk generasi jujur dan tidak mudah berprasangka.

Repotnya, jika orang tua, guru, paman, bibi, kakek, atau nenek sudah telanjur memiliki kepribadian yang tidak bagus. Tumbuh dengan orang yang terbiasa iri, dengki, dan selalu curiga kepada orang lain, anak akan mudah mengimitasi perilaku tersebut. Hal-hal buruk akan membentuk anak menjadi buruk. "Sebaliknya, hal baik akan membentuk anak jadi baik," ujar Evita. rep:desy susilawati ed: reiny dwinanda

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement