Selasa 23 Sep 2014 19:00 WIB
buah hati

Sentilan Thifa

Red: operator

“Allahu akbar... Allahu akbar....” Kumandang azan Zhuhur terdengar oleh seisi rumah kami. Thifa (3,5 tahun) segera mengajak kami shalat. “Ma, sudah azan. Ayo shalat,” ujar si sulung.

Thifa sebelumnya tengah asyik main pasar-pasaran. Ia segera menghentikan aktivitasnya begitu mendengar suara azan, berkebalikan dengan saya dan suami. Saya masih asyik mengetik dan suami tetap di pembaringan karena sedang tidak enak badan.

Jujur, saya memang termasuk orang yang sering kali melaksanakan sholat di ujung waktu. Setelah punya anak dua sekalipun, kebiasaan itu masih berlanjut. Di lain sisi, saya selalu mengajak anak shalat dan mengajarkan kebiasaan baik lainnya, seperti berdoa, mengaji, dan gosok gigi dengan cara mencontohkannya terlebih dahulu. Tapi, karena berpikir anak saya masih kecil dan belum bisa membaca jam, jadi saya santai saja untuk masalah waktu menunaikan kewajiban shalat. Saya pikir, nantilah kalau anak sudah agak besar saya akan belajar bersama untuk shalat di awal waktu sekaligus memberi contoh yang baik padanya.

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:Dokpri

Sebetulnya, saya bukannya tidak tahu akan keutamaan sholat lima waktu. Saya sudah sering mendengarnya dari guru, uztad, kawan, bahkan orang tua sering kali menasihati saya akan hal ini. Tapi, entah mengapa sulit sekali menghilangkan kebiasaan menunda. Apalagi, untuk sholat yang waktunya panjang seperti Isya.

“Ayo, Ma... shalat,” ujar Thifa mengulang ajakannya. Saya menoleh dan mendapatinya sudah mengenakan mukena dan telah menggelar sajadah.

“Iya, sayang. Wah, Thifa pintar sudah pakai mukena sendiri,” kata saya memuji. Saya pun akhirnya beranjak dari depan komputer. Seandainya bukan Thifa yang mengajak, sudah pasti saya akan tetap mengulur-ulur waktu dengan mengatakan nanti, sebentar, atau setelah ini selesai. Thifa kemudian beralih membujuk ayahnya yang masih tiduran.

“Ayah, ayo shalat!” Ayah sakit masak enggak shalat? Entar enggak disembuhin Allah lho!”

Kalau saya yang bicara seperti ini, paling-paling suami saya akan menjawab, “Iya, sebentar, lima menit lagi.”

Tapi, kali ini sang ayah seperti tersentil dengan nasihat Thifa. Dengan badan yang masih lemas dan jalan sedikit terhuyung, ayah langsung bangun menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Saya takjub bercampur geli mendengar nasihat Thifa tadi. Dari mana dia bisa mendapat kalimat seperti itu?

Ah iya, saya ingat. Saya memang pernah menasihati hal serupa pada Thifa saat ia sedang sakit. “Thifa berdoa sama Allah, shalat minta diberi kesembuhan ya, Nak.” Nah, akhirnya nasihat ini berbalik pada kami berdua, orang tuanya.

Memang, sudah menjadi kewajiban orang tua mengajarkan hal-hal baik pada anak. Tapi, sering kali sebaliknya, justru anak yang mengingatkan orang tua untuk melakukan hal-hal baik. Kalau sudah anak yang berbicara, kita seperti tak kuasa menolaknya. Terima kasih ya Thifa atas sentilan sayangnya! ed: reiny dwinanda

Oleh Rahmi Aziza

Berdomisili di Semarang, Jawa Tengah

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement