Jumat 30 Dec 2016 16:00 WIB

Mendeteksi Anomali dengan Endoskopi

Red:

Masalah kesehatan lebih cukup banyak terjadi pada saluran pencernaan, termasuk kolon atau usus besar dan rektum (kolorektal). Sebanyak 70-90 persen kanker di saluran pencernaan (gastrointestinal tract) terjadi di bagian itu. Jenis kanker ini tergoloing paling banyak terjadi dan menyebabkan kematian di tengah masyarakat.

Meski demikian, sebagian besar pasien dengan kanker kolorektal ini baru mendapat penanganan medis setelah memasuki stadium lanjut. Kondisi ini tentu merugikan pasien karena memperkecil peluang keberhasilan terapi pengobatan.

Spesialis penyakit dalam dari RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) Kencana Dr dr Murdani Abdullah SpPD KGEH mengatakan, kanker di kolorektal pada dasarnya bisa dicegah jika terdeteksi di stadium yang awal sekali atau jika terdeteksi ketika masih dalam fase lesi prakanker. Apalagi, munculnya anomali atau perubahan mukosa usus dari yang normal menjadi ganas membutuhkan waktu sampai 20-an tahun.

"Artinya, sebelum kanker itu terjadi, sudah ada tanda-tanda perubahannya. Jadi, bisa kita deteksi, bisa kita atasi," ujar Murdani saat dihubungi Republika, beberapa waktu lalu.

Salah satu cara mudah dan sederhana untuk mendeteksi kanker usus besar ialah dengan menggunakan teknik fecal occult blood test (FOBT). Namun, hasil pemeriksaan FOBT tidak bisa terlalu diandalkan untuk mendeteksi kanker kolorektal. Karena, hasil yang positif yang didapat dari FOBT belum tentu membuktikan adanya keganasan, begitu pula dengan hasil negatifnya.

Alternatif lain yang lebih akurat, lanjut dia, ialah melalui endoskopi. Cara ini pada dasarnya adalah tindakan pendeteksian medis untuk memeriksa saluran cerna bagian atas maupun bawah dengan menggunakan alat endoskopi. Endoskopi ini memiliki dua fungsi utama, yaitu sebagai metode pencegahan dan juga deteksi dini kanker di saluran cerna.

"Pencegahan itu artinya menemukan lesi-lesi sebelum kanker terjadi atau prakanker. Kalau deteksi dini artinya menemukan kanker pada stadium awal sekali. Dua-duanya penting," kata Murdani.

Selain memungkinkan melihat jelas lesi-lesi dan perubahan di dinding usus yang mengarah ke kanker, endoskopi juga memiliki nilai terapeutik atau pengobatan. Melalui endoskopi, lanjutnya, dokter dapat melakukan beberapa tindakan lebih lanjut untuk membuang polip bakal kanker maupun kanker di stadium awal. Tindakan ini meliputi polipektomi, Endoskopisk Mucosa Resektion (EMR), dan Endoscopic Submucosal Sissection (ESD).

Meski begitu, Murdani mengatakan, semua tindak medis, termasuk endoskopi memiliki beberapa risiko. Dampak yang mungkin terjadi ialah pendarahan dan kadang-kadang kebocoran usus. Tapi, secara umum endoskopi jauh lebih aman jika dibandingkan dengan operasi.

Selain itu, komplikasi akibat endoskopi pun cenderung kecil. Komplikasinya diketahui hanya satu dalam 3.000 tindakan. Sedangka,n untuk tindakan terapeutik dari endoskopi, komplikasinya ditemukan satu dari seribu tindakan. "Jarang (komplikasi). Paling keluhan yang sering dirasakan ialah kembung, tapi kurang dari 10 persen pasien dan umumnya segera hilang kalau sudah buang angin," jelas Murdani.

Pendapat serupa disampaikan Spesialis penyakit dalam dari Siloam Hospitals TB Simatupang dr Epistel P Simatupang SpPD KGEH. Menurutnya, endoskopi cenderung lebih sederhana bagi pasien untuk pencegahan dan deteksi dini kanker usus besar. Endoskopi untuk jenis ini adalah pada saluran cerna bawah atau kolonoskopi.

Dia mengatakan, kolonoskopi tidak membutuhkan waktu lama. Kunci terpentingnya adalah tidak terburu-buru agar tidak ada polip ataupun lesi mencurigakan yang luput dari pemeriksaan. "Tergantung keahlian masing-masing (dokter). Ada yang bisa sampai satu jam."

Persiapan endoskopi

Untuk menjalani kolonoskopi, persiapan yang perlu dilakukan pasien cukup sederhana. Pasien hanya perlu mengonsumsi laksatif atau obat pencahar dari dokter.

Spesialis penyakit dalam dari RS Polri Kramat Jati Dr Agasjtya Wisnu Wardhana SpPD mengatakan, pasien yang akan melakukan kolonoskopi disarankan mengonsumsi makanan lunak sejak dua hari sebelum pemeriksaan dilakukan. Salah satu yang bisa dikonsumsi ialah bubur dengan kecap.

Konsumsi jenis makanan seperti itu, lanjutnya, penting dilakukan agar kotoran tidak terlalu banyak berada di usus besar. Setelahnya, pasien juga akan diberikan obat pencahar beberapa waktu sebelum tindakan kolonoskopi dilakukan. "Sehingga bersih," jelas Wisnu.

Wisnu mengatakan, tak ada banyak pantangan bagi pasien yang baru saja menjalani kolonoskopi. Jika pasien yang menjalani gastroskopi tidak boleh makan dan minum setelah dua jam, pasien yang baru menjalani kolonoskopi boleh minum setelah tindakan kolonoskopi dilakukan.

Untuk akurasi kolonoskopi atau endoskopi pada umumnya, Epistel mengatakan, memiliki akurasi di atas 90 persen. Jika pemeriksaan kolonoskopi menunjukkan hasil negatif maka pemeriksaan ulang untuk pencegahan bisa dilakukan lima sampai 10 tahun ke depan. Tentunya, hal itu bergantung risiko yang ada pada pasien.

Mengingat pentingnya pencegahan dan deteksi dini dalam kanker, Epistel menyarankan orang-orang dengan faktor risiko kanker usus besar maupun rektum melakukan skrining melalui kolonoskopi. Orang dengan faktor risiko tersebut, di antaranya, ialah kelompok berusia sekitar 50-60 tahun, memiliki riwayat kanker kolon atau rektum di keluarga, dan pernah menderita radang usus kronis.

Wisnu juga mengatakan, penting bagi kelompok berisiko untuk melakukan pencegahan maupun deteksi dini. Dengan deteksi dini, terapi pengobatan kanker bisa memiliki hasil yang lebih baik. "Kalau terlambat, kita tidak bisa berbuat apa-apa." rep: Adhysa Citra Ramadhani  ed: Dewi Mardiani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement