REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Rancangan Undang-Undang (RUU) Anti Minuman Beralkohol atau RUU Anti Minuman Keras (Miras) belum menjadi prioritas pembahasan Badan Legislasi (Baleg) DPR. RUU yang yang diinisiasi Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (F-PPP) ini masih mangkrak dalam daftar tunggu pembahasan Baleg.
“RUU Miras belum menjadi prioritas Baleg,” kata anggota Baleg Fraksi Partai Golkar Poempida Hidayatoellah ketika dihubungi Republika, Ahad (19/5). Poempida berpandangan peredaran dan penggunaan miras tidak perlu diatur dalam undang-undang (UU). Sebab, UU Kesehatan telah memuat aturan penggunaan alkohol.
Menurut dia, peredaran dan penggunaan miras cukup diatur dalam peraturan pemerintah (PP). “Kalau ada UU sendiri, nanti jadi tumpang tindih dengan UU Kesehatan,” kata anggota Komisi IX DPR Bidang Kesehatan ini.
Peraturan pemerintah soal miras bisa mencakup peredaran dan penggunaan. Poempida mengatakan hal-hal yang menyangkut hukuman juga bisa dijabarkan lewat peraturan pemerintah. Misalnya, orang yang terbukti menggunakan alkohol saat berkendara bisa dikenai sanksi hukuman yang lebih berat.
Sebelumnya, Sekretaris F-PPP Arwani Thomafi mengatakan RUU Miras bakal mengatur secara keseluruhan makanan dan minuman beralkohol di masyarakat. Pengaturan menyangkut produksi, distribusi, dan konsumsi.
PPP berpandangan peraturan di bawah UU tidak cukup mampu menjadi dasar hukum penegakan. “Yang dibutuhkan adalah pengaturan yang tidak seperti saat ini. Sudah ada perda, permen, atau keppres, tapi belum kuat dalam penegakan hukumnya,” kata Arwani.
Sampai saat ini, belum ada perkembangan soal nasib RUU Miras. Arwani berharap RUU Miras bisa segera dibahas tahun ini. “Baleg akan menggodok, lalu diparipurnakan. Setelah itu, menjadi RUU inisiatif DPR, lalu diajukan ke pemerintah. Barulah dibahas pemerintah dan DPR,” ujarnya.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak agar RUU Miras segera dibahas DPR. Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Niam mengatakan MUI mendorong agar segera dilakukan pembahasan sebab secara nyata minuman keras mampu memicu terjadinya tindak kriminal.
Selain membahayakan kesehatan peminumnya, miras juga dapat membahayakan orang lain. Misalnya, kecelakaan lalu lintas akibat keteledoran pengguna miras yang mengakibatkan meninggalnya orang lain.
“Karena itu, MUI melihat perlunya bukan hanya pembatasan, tapi pelarangan penjualan minuman keras. Harus ada kontrol ketat, kalau perlu produsennya, penjual, dan penggunanya diberikan sanksi ketat,” ujarnya.
Asrorun juga mempertanyakan mengapa DPR hingga saat ini membutuhkan waktu lama mempelajari RUU Miras. Ia mengatakan MUI telah mengambil beberapa langkah untuk mengawal RUU Miras.
Selain mendorong pengesahan, MUI telah mengadakan pembahasan internal tentang berbagai mudharat akibat miras. Di forum tersebut dibahas fakta-fakta negatif tentang miras. “Masyarakat harus dilindungi dari berbagai hal yang merugikan dari miras,” katanya. Dari hasil ijtima (pembahasan) ulama atau komisi fatwa, berbagai ulama telah disepakati pentingnya regulasi terkait miras.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Asad Ali mengatakan, ia mendukung semangat yang terkandung dalam RUU Miras. Semangat tersebut, menurutnya, adalah membatasi penjualan minuman keras. “Terus terang saya belum mempelajari RUU ini, jadi belum bisa mengomentari. Tapi, saya kira semangat RUU tersebut adalah jangan sampai pengawasan minuman keras terlalu longgar,” ujarnya.
Ia menambahkan, barang haram seperti minuman beralkohol tidak boleh dijual di tempat umum. Namun, wajar saja bila dijual di tempat tertentu yang dikecualikan, di hotel, misalnya. Asad menilai penjualan minuman keras masih sangat longgar. Hal itu terbukti dari masih bebasnya masyarakat membeli miras di warung-warung kaki lima. n m akbar wijaya/ani nursalikah e: chairul akhmad
Berita-berita lain bisa dibaca di harian Republika. Terima kasih.