Senin 01 Dec 2014 16:00 WIB

DPD Minta Dilibatkan Penuh Revisi UU MD3

Red:

JAKARTA — Upaya Dewan Perwakilan Daerah (DPD) terlibat aktif dalam revisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tampaknya masih jauh dari harapan. Badan Legislasi (Baleg) Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyatakan keterlibatan DPD dalam revisi UU tersebut hanya sebatas mendengarkan pendapat, tidak sampai pada pembahasan akhir revisi UU tersebut.

Anggota DPD asal Aceh Fachrul Razi mengatakan, tanpa melibatkan DPD secara penuh dalam revisi UU MD3 sama saja dengan mengkhianati konstitusi. "Secara undang-undang, pembahasan haruslah secara tripartit, yakni melibatkan DPR, DPD, dan pemerintah," kata Fachrul dalam penjelasannya, Ahad (30/11).

Sesuai dengan amanat konstitusi Pasal 22 D UUD 1945 dan putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012 tanggal 27 Maret 2013 terkait permohonan pengujian UU atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MD3 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan maka sesuai pembahasan UU dalam lingkup tugas DPD sebagaimana diatur dalam UUD 1945, harus dibahas bersama-sama DPR, DPD, dan pemerintah.

Menurut Fachrul, pembahasan bukan hanya sebatas dengar pendapat, melainkan juga sejak awal proses pembahasan, mulai dari pengusulan, pembahasan, hingga persetujuan. Ia mendesak agar DPD harus terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

Selain itu, lanjut dia, DPD berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22 D Ayat (1) UUD 1945 sebagaimana halnya DPR dan presiden, termasuk dalam pembentukan RUU pencabutan peraturan pemerintah pengganti undang-undang. 

Terakhir, DPD berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22 D Ayat (2) UUD 1945. Revisi UU harus mengikuti ketentuan UU No 12 Tahun 2011 yang antara lain mengharuskan revisi UU harus masuk Prolegnas.

Wakil Ketua Komite I DPD Benny Ramdhani mengatakan, DPD menilai konflik Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) bukan alasan merevisi UU MD3 tanpa melalui Prolegnas.

Pasalnya, lanjut dia, konflik KMP dan KIH tidak memenuhi unsur mendesak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. "Konflik KMP dan KIH tidak masuk keadaan luar biasa yang disebut berakibat masif pada kondisi sosial masyarakat," katanya.

Benny mengatakan, revisi UU MD3 sebagai syarat damai KMP dan KIH bisa menjadi pendidikan politik yang destruktif bagi bangsa. Apalagi, dalam perjalanannya, revisi UU MD3 dilakukan secara sepihak antara pemerintah dan DPR, tanpa melibatkan DPD. "Ini pembangkangan terhadap konstitusi," ujar Benny.

Wakil Ketua DPD Farouq Muhammad mengatakan, pemerintah dan DPR tidak bisa merevisi UU MD3 secara sepihak. Revisi UU MD3, menurutnya, harus melibatkan DPD. "Sebagaimana diatur dalam UUD 1945, harus dibahas bersama antara DPR, DPD, dan pemerintah," katanya.

Farouq kecewa dengan sikap DPR dan pemerintah yang terkesan mengabaikan eksistensi DPR. Padahal, UUD 1945 dan putusan MK Nomor 92/PPU-X/2012 mengharuskan pelibatan DPD dalam proses pembahasan undang-undang yang melibatkan ruang lingkup DPD. "DPD RI harus terlibat," katanya.

DPD siap mengambil langkah tegas apabila tidak dilibatkan dalam revisi UU MD3. Namun, Farouq tidak menjelaskan lebih perinci langkah apa yang akan diambil DPD. "Ini pertanggungjawaban moral kami kepada rakyat. Mudah-mudahan ini menjadi pertimbangan rekan-rekan kami di kamar sebelah (DPR)," ujar Farouq. n ed: muhammad fakhruddin

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement