Sabtu 03 Sep 2016 16:00 WIB

Waspada Angin Kencang

Red:

JAKARTA--Potensi hujan di beberapa wilayah Pulau Jawa, sebagian Sumatra, dan Kalimantan cenderung meningkat pada akhir Agustus hingga awal September 2016. Begitu juga dengan potensi angin kencang yang menyertai fenomena hujan lebat juga cenderung meningkat.

Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan pada September 2016 yang merupakan periode peralihan musim di beberapa wilayah di Indonesia, akan memunculkan potensi pembentukan awan hujan yang bersifat sporadis. "Artinya, awan hujan dapat terbentuk lebih cepat dan menimbulkan hujan yang turun dengan singkat, tetapi dengan intensitas tinggi dan disertai angin kencang," ujar Kepala Subbidang Prediksi Cuaca BMKG Agie Wandala Putra, Jumat (2/9).

Begitu juga potensi angin kencang atau puting beliung yang juga cukup potensial terjadi, terutama pada periode siang hingga menjelang malam hari. Meskipun memiliki skala wilayah yang cukup kecil, adanya potensi angin kencang agar diantisipasi oleh masyarakat. Utamanya, terkait dengan kondisi bangunan, pohon-pohon yang rapuh, ataupun kondisi lingkungan agar lebih siap menghadapi perubahan cuaca yang tiba-tiba.

Agie mengatakan, untuk wilayah Jabodetabek, area selatan memiliki potensi hujan yang lebih banyak dibanding area lainnya. Begitu juga dengan potensi angin kencang dan petir yang diperkirakan juga muncul bersamaan dengan potensi hujan. Sedangkan, wilayah Indonesia untuk sepekan ke depan, potensi hujan muncul di beberapa kota di Pulau Jawa serta sebagian Lampung dan Sumatra Selatan, Kalimantan Timur dan Utara, serta wilayah Indonesia bagian timur, seperti Maluku Tenggara dan Papua, juga cukup potensial.

Terpisah, Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, kombinasi antara La Nina, Dipole Mode, dan anomali suhu muka air laut yang hangat telah memberikan dampak signifikan meningkatnya bencana di Indonesia saat ini. Pada periode ini, dari 1 Januari hingga 1 September 2016, terdapat 1.495 kejadian bencana di Indonesia yang menyebabkan 257 orang meninggal dunia, 2,86 juta orang menderita dan mengungsi, serta ribuan rumah rusak. Lebih dari 95 persen dari bencana tersebut adalah bencana hidrometeorologi yang dipengaruhi oleh cuaca.

Longsor adalah jenis bencana yang paling mematikan saat ini. Hingga kemarin, terdapat 323 kejadian longsor yang menyebabkan 126 orang meninggal dan 18.655 jiwa menderita dan mengungsi. Sedangkan, banjir terdapat 535 kejadian dengan dampak 70 orang meninggal serta 1,94 juta jiwa menderita dan mengungsi akibat banjir.

Sutopo mengatakan, hal ini juga terjadi pada periode La Nina sebelumnya seperti pada 2010 dan 2011. Indonesia kala itu mengalami curah hujan di atas normal, terutama di Pulau Jawa, Maluku, Sulawesi, Sumatra bagian selatan, Kalimantan, dan Papua yang menyebabkan hujan lebat dan lebih tinggi daripada curah hujan normal sehingga meningkatkan risiko bencana banjir dan longsor. Selama periode La Nina dengan intensitas sedang tersebut, bencana banjir dan longsor meningkat.

 Pada kesempatan itu, Sutopo juga mencatat jumlah korban meninggal dan hilang akibat bencana di Indonesia dari 1 Januari hingga 1 September 2016 mencapai 257 orang. Jumlah tersebut meningkat 54 persen dibandingkan pada 2015 sebanyak 167 orang.

Selain itu, keseluruhan jumlah kerusakan pada 2016 pun mengalami peningkatan dibandingkan 2015. "Diprediksi dampak bencana 2016 akan terus meningkat hingga akhir tahun nanti," katanya.

Pada periode ini, dari 1 Januari hingga 1 September 2016, terdapat 1.495 kejadian bencana di Indonesia yang menyebabkan 257 orang meninggal dunia, 2,86 juta orang menderita dan mengungsi, serta ribuan rumah rusak. Lebih dari 95 persen dari bencana tersebut adalah bencana hidrometeorologi yang dipengaruhi oleh cuaca.

 Namun demikian, Sutopo mengatakan, meningkatnya curah hujan saat ini ternyata memberikan dampak positif, yaitu menurunnya jumlah kebakaran hutan, lahan, dan kekeringan. Daerah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sumatra bagian selatan, dan sebagian Kalimantan biasanya kekeringan. "Saat ini, intensitas kekeringan sangat kecil. Tidak banyak lahan pertanian yang puso," kata dia. Masyarakat yang mengalami kekeringan dan krisis air pun tidak banyak. Hanya terjadi di beberapa daerah yang memang endemik kekeringan karena faktor geologis dan hidrometeorologis.     rep: Qommarria Rostianti, ed: Muhammad Hafil

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement