Kamis 24 Nov 2016 17:00 WIB

NTB Bisa Jadi Pionir Jaminan Produk Halal

Red:
Perahu nelayan sandar di dermaga wisata Pantai Sekotong, Lombok.  (Republika/WIhdan Hidayat)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Perahu nelayan sandar di dermaga wisata Pantai Sekotong, Lombok. (Republika/WIhdan Hidayat)

Komisi VIII DPR menilai, Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTB bisa menjadi pionir dalam penerapan jaminan produk halal. 

Wakil Ketua Komisi VIII Ledia Hanifa mengatakan, pemerintah pusat telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Tapi, hal ini belum berjalan maksimal lantaran pemerintah belum menyelesaikan peraturan turunan untuk penyelenggaraannya.

Menurutnya, ketiadaan peraturan turunan dari UU tersebut menyulitkan langkah pemerintah daerah dalam implementasi di lapangan. "Meskipun belum selesai, tapi kelebihan kelebihan NTB sudah mendahului karena kesiapan pemda dan keterlibatan masyarakat yang cukup baik," ujarnya di kantor Pemprov NTB, Jalan Pejanggik, Kota Mataram, NTB, Selasa (22/11).

Ledia menambahkan, kehadiran Pergub Nomor 51 tahun 2015 tentang Wisata Halal dan Perda Nomor 2 tahun 2016 tentang Pariwisata Halal menjadi bukti nyata keseriusan Pemprov NTB dalam menyelenggarakan sertifikasi jaminan produk halal. "Kita lihat prestasi wisata NTB luar biasa. Ini sesuatu yang sangat luar biasa yang belum banyak dilakukan pemerintah daerah lain, tapi dilakukan pemerintah NTB," lanjutnya.

Ledia meminta pemerintah pusat menindaklanjuti dan mendukung apa yang telah dilakukan Pemprov NTB dengan adanya peraturan turunan dari UU tersebut. Ia menilai, lambannya pemerintah dalam penerbitan peraturan turunan lantaran belum adanya sinkronisasi antarkementerian/ lembaga. "Dukungan paling besar dari pusat adalah menyelesaikan semua peraturan turunan UU Nomor 33 tahun 2014 supaya daerah tidak susah melangkah," ujar Ledia Hanifa.

Senada dengan Ledia Hanifa, anggota Komisi VIII DPR Zulfadil menilai, NTB bisa menjadi contoh provinsi yang serius dalam menerapkan jaminan produk halal di Indonesia. Politikus dari fraksi Golkar ini mengatakan, upaya Pemprov NTB dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 51 tahun 2015 tentang Wisata Halal dan Peraturan Daerah Nomor 2 tahun 2016 tentang Pariwisata Halal sebagai langkah jitu mengatasi lambannya sikap pemerintah dalam mengeluarkan peraturan turunan dari UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Menurutnya, Indonesia tertinggal jauh dari beberapa negara yang bahkan bukan mayoritas Muslim terkait sertifikasi produk halal pada objek wisata. "Mestinya, kita lebih serius. Kalau bisa, NTB jadi percontohan sambil menunggu pusat keluarkan peraturan pemerintah," ungkap Zulfadil pada kesempatan yang sama.

Zulfadil mengapresiasi sikap Gubernur NTB TGH Muhammad Zainul Majdi atas keseriusan membangun wisata halal NTB, termasuk penyediaan sertifikasi produk halal. Ia menilai, belum adanya peraturan turunan dari UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyulitkan implementasi pemerintah daerah di lapangan. Padahal, proses kehadiran UU itu sendiri memakan waktu yang panjang dan biaya yang tidak sedikit.

Oleh karenanya, diperlukan sesegera mungkin agar keberadaan UU tersebut benar-benar dapat dimanfaatkan pemerintah daerah. "Di sini, kita minta kesungguhan pemerintah, jangan sampai UU yang dibuat, tapi kok lamban sikapi peraturan turunannnya. Nanti, kalau sudah timbul masalah, lalu kita baru sadar," lanjutnya.

Dia menambahkan, keberadaan peraturan turunan pelaksanaan sejatinya sejalan dengan semangat pemerintahan Jokowi-JK yang mengunggulkan sektor pariwisata. "Kan pemerintah sedang kembangkan sektor pariwisata, mestinya UU harus segera diimplemntasikan supaya jelas. Di daerah kesulitan karena aturan ini tidak ada pijakannya," tutur Zulfadil.

Pada kesempatan yang sama, Pemprov NTB menegaskan komitmennya dalam menyiapkan fasilitas pendukung dalam destinasi wisata, termasuk sertifikasi jaminan produk halal.

Wakil Gubernur NTB Muhammad Amin menyebutkan, Pergub Nomor 51 tahun 2015 tentang Wisata Halal dan Perda Nomor 2 tahun 2016 tentang Pariwisata Halal merupakan bukti konkret keseriusan Pemprov NTB mengenai sertikasi halal.

Dalam Pergub Nomor 51 tahun 2015 mengatur kewajiban pelaku usaha wisata, restoran hotel, restoran mandiri, dan katering untuk menjamin kehalalan makanan dan minuman yang dikonsumsi konsumen dengan bersertifikasi halal.

Berdasarkan data industri yang ada di NTB, Amin mengatakan, ada 87.279 perusahaan yang terdiri atas 12.327 perusahaan formal dan 74.952 perusahaan nonformal. Dari 74.952 perusahaan, Pemprov NTB melakukan fasilitasi sertifikasi halal untuk industri kecil menengah (IKM) sekitar 450 hingga 2016.

IKM yang mendapat fasilitasi ialah kriteria industri formal khusus pengolahan makanan. Sementara, Pemprov NTB telah memfasilitasi sertifikasi halal untuk restoran, hotel, restoran mandiri, dan katering mencapai 465 pelaku usaha.

Ia menilai, dengan ditetapkannya NTB sebagai destinasi wisata halal, memudahkan Pemprov NTB dalam melakukan sertifikasi halal. "Kita terus gencarkan dan gratiskan sertifikasi ratusan produk rumah makan," Muhammad Amin.

Dari Surabaya diinformasikan, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jawa Timur menargetkan separuh atau sekitar 50 persen dari total enam juta UMKM di wilayah setempat mempunyai produk yang tersertifikasi halal untuk persaingan pada Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Wakil Ketua Umum Pengembangan Jaringan Usaha Antarprovinsi Diar Kusuma Putra di Surabaya, Selasa (15/11), mengaku akan terus mendorong pelaku UMKM untuk melakukan sertifikasi halal pada produknya.

Sebab, ungkap Diar, total UMKM dan Perusahaan Industri Rumah Tangga (PIRT) yang memiliki sertifikasi halal hanya sekitar 15 persen dari enam juta UMKM di Jatim.

"UMKM kita melimpah, namun produk kita masih sulit menembus pasar luar negeri. Sebab, produk UMKM Jatim tak memiliki sertifikasi resmi. Oleh karena itu, produk kita banyak ditolak, padahal kualitasnya bagus," ucap Diar dalam acara dialog dan sosialisasi sertifikasi halal serta sehat.

Dalam kesempatan sebelumnya, Direktur LPPOM MUI Lukmanul Hakim mengatakan, halal sudah menjadi bagian perdagangan global. Saat ini, kata dia, peningkatan laju pertumbuhan bisnis halal mencapai 9,3 persen per tahun.

"Ini merupakan sebuah peluang bagi industri produk halal di Indonesia. Artinya, halal sudah menjadi nilai tambah bagi produk konsumsi di Indonesia. Terlebih, dengan telah disahkannya UU No 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Sertifikat halal akan menjadi wajib atau mandatory," ujar Lukman Hakim di sela-sela acara penandatangan nota kesepahaman (MoU) antara LPPOM MUI dengan GS1 Indonesia di Jakarta, Rabu (16/11). Direktur Urais dan Binsyar Kemenag RI Muhammad Thamrin mengatakan, ada tren peningkatan permintaan produk halal dunia. Kata dia, penduduk Muslim dunia yang diperkirakan mencapai 1,57 miliar adalah pasar yang potensial terhadap produk halal.

"Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Ternyata, Indonesia adalah negara konsumen produk halal terbesar dengan jumlah 197 miliar dolar AS berdasarkan kajian State of The Global Islamic Economy 2013, Thomson Reuters," kata Muhammad Thamrin, seperti dimuat dalam laman kemenag.go.id.       rep: Muhammad Nursyamsyi, Heri Ruslan/antara, ed: Irwan Kelana

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement