THOMAS KOTEN
Direktur Social Development Center
Indonesia telah menyelenggarakan dua hajatan akbar demokrasi pada tahun politik 2014, yakni Pileg 9 April dan Pilpres 9 Juli. Kesuksesan dari kedua hajatan itu patut diapresiasi dan layak dicatat dalam album sejarah demokrasi. Pasalnya, di tengah keri sauan nasional terkait black campaign yang mencuat tajam selama masa kampanye, hajatan akbar itu dapat terselenggara dengan aman.
Hanya, semuanya belum tuntas. Belum tahu pasti siapa yang kalah dan siapa yang menang dalam pilpres. Justru inilah akar kerisauan kolektif kita se belum pengumuman resmi dari KPU 22 Juli, mengingat hasil quick count sejumlah lembaga survei; ada yang memenangkan pasangan capres-cawapres no 1 dan ada yang memenangkan pasang an capres-cawapres no 2.
Karena itu, ancaman konflik pun dikhawatirkan terjadi jika kekecewaan bersenyawa dengan fanatisme kelompok yang tidak menerima kekalahan.
Ini diperjelas lagi dengan kultur demokrasi kita yang belum terbiasa mengakui keunggulan lawan politik, apalagi me nerima kekalahan. Inilah latar kerisauan kita, yang mengharuskan kita untuk mengantisipasinya.
Sumber konflik Hakikatnya, siapa pun tidak menghendaki konflik, apalagi hingga berujung pada kekerasan berdarah, kecuali mereka yang memiliki "sakit jiwa" politik. Sakit jiwa politik dimaksudkan bagi mereka yang memiliki gangguan ke sehatan mental, atau ketidakseimbangan kognitif yang luar biasa tinggi dalam politik. Mereka memiliki kecenderungan merasa senang dan puas jika melihat orang lain menderita atas ulahnya.
Tetapi, karena dalam psikologi politik dikatakan, umumnya selalu ada konflik pascapertarungan yang sangat keras, maka kewaspadaan yang bersifat antisipatif akan lahirnya konflik pascapilpres perlu dilakukan. Ini juga mengingat pertarungan Pilpres 2014 yang baru terlewatkan itu sangat keras, dan black campaign adalah indikasinya. Apalagi jika fanatisme kelompok mengkristal dengan kekecewaan masa fanatik, yang juga dipicu oleh benih-benih permu suhan yang tumbuh pada masa kampanye.
Namun, persoalannya, di mana sum ber konflik yang mesti diantisipasi?Pertama, euforia kemenangan politik yang berlebihan dari para pendukung dan simpatisan parpol yang menang bisa memancing dan membakar emosi kelompok yang kalah. Akhirnya, kekecewaan kelompok yang kalah diproyeksikan pada praktik-praktik vandalistik yang dapat berujung konflik.
Kedua, fanatisme kelompok politik yang berurat-akar pada ikatan primordial dan solidaritan dus toleransi ideolo gis yang telah lama terbangun kuat.
Ha nya bahwa fanatisme kelompok politik seperti ini tidak gampang menyebar pada kelompok lainnya, yang tidak memiliki kekukuhan ideologi alias hanya memiliki afektif personal dengan partai politik atau figur politik.Ketiga, ilmuwan Lonnie H Athens (Boni Hargens, 2009), menegaskan bahwa interpretasi situasi (interpretation of situation) merupakan awal dari perilaku kekerasan politik. Tatkala gerak-gerik lawan diterjemahkan sebagai ejekan, hinaan, maka reaksi yang paling mungkin adalah mendefinisikan situasi sebagai situasi yang kacau (violent situation). Di sinilah euforia berlebihan dari para pendukung kemenangan diterjemahkan sebagai violent situationyang potensial melahirkan konflik.
Keempat, kompilasi kecurigaan ada nya kecurangan dalam pilpres, seperti politik uang, jual beli suara, ketidak percayaan kelompok yang kalah terhadap perhitungan KPU. Ini berbenturan dengan kelompok yang menang, yang berkehendak baik untuk membela KPU beserta pihak-pihak yang mendukung kemenangan, sehingga melahirkan konflik. Kelima, ketiadaan sikap sportif dari capres-cawapres yang kalah, sehingga secara tersembunyi memprovokasi para pendukung dan segenap simpatisannya untuk melakukan protes. Ini tentu tidak aneh di Indonesia yang belum tumbuh kultur demokrasi yang mengakui keunggulan lawan dan menerima kekalahan secara elegan dan berjiwa besar.
Karena itu, yang diperlukan kini ada lah segera ditumbuhkannya kultur de mokrasi yang membiasakan diri untuk menerima kekalahan sambil mengakui keunggulan lawan. Sikap inilah yang menjadi sumber utama peredam konflik.
Tumbuhnya kultur demokrasi ini pula dapat meredam konflik yang ter jadi di akar rumput, lantaran ia perla han akan mengikis perilaku fanatisme kelompok pendukung partai politik dan figur politik.
Keikhlasan politik Kini, yang paling diperlukan adalah sikap legawa dan ketegaran hati dari pasangan capres-cawapres yang kalah dalam pilpres 2014. Sikap ini hanya dimiliki oleh para politisi negarawan yang memiliki kebesaran jiwa dalam politik dan mental yang tahan uji, serta yang paling utama adalah kepemilikan keikhlasan jiwa, ketulusan hati, dan kedewasaan politik. Dari mana mereka memiliki sikap yang tulus dan ikhlas dalam berpolitik?
Keikhlasan dan ketulusan dalam ber politik seperti itu hanya dapat muncul dari getaran hati nurani yang bersih dan jiwa yang bening dan pemikiran yang jernih. Selain itu, mereka juga bisa dikatakan sudah cukup mamahami jiwa politik dan bisa menjalankan etika politik dengan mengedepankan etika dan moralitas politik. Karena, memang politik yang ikhlas dan tulus hanya da pat dimungkinkan tatkala etika politik ditem patkan menjadi landasan, sekaligus panduan dan tujuan dalam berpolitik.
Keikhlasan dan ketulusan politik juga adalah cermin politikus bermoral atau politikus moralis. Politikus moralis adalah politikus yang perilaku politiknya ada dalam bingkai moralis dan selalu menjadikan moralitas sebagai pedoman dalam setiap langkah politiknya.
Politikus moralis tidak akan merekareka moralitas (morality justification)agar sesuai dengan kepenting annya sendiri dan mengabaikan ke pentingan rakyat.