Setumpuk pekerjaan rumah sudah menunggu calon presiden pemenang Pemilu Presiden (Pilpres) 2014. Hal ini tidak terlepas dari begitu tingginya harapan masyarakat terhadap pemerintahan baru untuk melakukan percepatan kesejahteraan dan kemakmuran negara ini.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bisa dikatakan sudah membawa banyak kemajuan bagi negara ini. Pertumbuhan dan kestabilan ekonomi yang memuaskan, penegakan hukum, hingga kehidupan sosial yang lebih baik. Tentu ini akan menjadi tantangan berat bagi pemenang Pilpres 2014, baik itu Jokowi-JK maupun Prabowo-Hatta, untuk mewujudkan pemerintahan yang lebih baik.
Dalam posisi seperti inilah, kepemimpinan yang kuat dan dukungan dari seluruh elemen bangsa akan menjadi kunci utama keberhasilan. Selain itu, terbentuknya kabinet yang kuat dan solid juga akan menjadi kunci pendukung keberhasilannya.
Penyusunan kabinet yang solid bukanlah hal yang mudah. Pemerintahan yang kuat tentu saja membutuhkan dukungan dari kekuatan partai politik di parlemen. Kelihaian dan kecakapan menjalin komunikasi dalam mengakomodasi kepentingan parpol dari capres terpilih mutlak dibutuhkan.
Sekalipun cukup sukses, Presiden SBY harus bekerja ekstra keras dalam meyakinkan parpol di parlemen untuk mendukung setiap kebijakan pemerintahannya. Padahal, koalisi parpol pendukung pemerintahannya menguasai mayoritas parlemen. Dunia politik 'terlalu riuh' dengan manuver politik parpol di parlemen. Bahkan, manuver tersebut dilakukan oleh parpol pendukung pemerintahan SBY.
Jika Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Prabowo-Hatta yang berujung pada kemenangan Jokowi-JK di Pilpres 2014, tentu Jokowi-JK memiliki pekerjaan lebih berat dibanding Presiden SBY. Kekuatan parpol pendukung Jokowi di parlemen masih kurang dari 50 persen plus satu.
Kecakapan Jokowi-JK dalam meyakinkan parpol pengusung Prabowo-Hatta akan diuji. Jokowi-JK harus bisa meyakinkan bahwa 'masa bertarung' sudah selesai dan sudah waktunya tidak ada lagi dikotomi dalam memperjuangkan kepentingan rakyat. Apakah nanti bentuknya mengakomodasi dalam kabinet atau dalam bentuk lainnya, bergantung pada kecerdikan Jokowi-JK.
Persoalan kabinet juga selalu dikaitkan dengan dikotomi menteri dari parpol atau menteri dari kalangan profesional. Ada kecenderungan penolakan terhadap kabinet yang diisi menteri yang berasal dari parpol. Hal ini tidak terlepas dari terbentuk opini di masyarakat bahwa menteri dari parpol itu tidak bagus, bahkan jahat. Menteri dari parpol selalu dipandang minor dengan label korup dan mementingkan partai sendiri.
Entah apa yang membuat opini semacam ini begitu masif di masyarakat. Apakah karena pekerjaan elemen lain yang terus melakukan pembusukan terhadap parpol ataukah karena memang perilaku parpol yang makin mengecewakan masyarakat.
Terlepas dari persoalan parpol pada masa lalu, Jokowi-JK harus berani membuat mengembalikan sistem berbangsa bahwa parpol adalah bagian dari sistem bernegara yang memiliki peran sebagai institusi yang menyediakan sumber daya kepemimpinan. Ini yang harus ditegakkan Jokowi-JK.
Tentu tidak bisa dimungkiri bahwa banyak perilaku oknum di partai politik, bahkan parpol sebagai institusi, yang menyakiti hati rakyatnya. Tapi, jika Jokowi-JK yang notabene juga berasal dari parpol, ikut-ikutan bersikap antipati terhadap sumber daya yang berasal dari parpol, bersiaplah menerima kenyataan sistem bernegara akan semakin kacau. Negara tanpa sistem hanya akan menghasilkan anarkistis.
Rakyat harus belajar bahwa suara mereka adalah penentu baik tidaknya pemerintahan. Jika rakyat sudah memiliki kesadaran, rakyat akan efektif memberikan hukuman terhadap parpol yang tidak menjalankan fungsinya dengan baik. Artinya, parpol juga tidak akan berani 'main-main' karena tidak akan dipilih lagi oleh rakyat.
Sudah bukan masanya lagi sistem bernegara dijalankan dengan penyiasatan-penyiasatan. Toh, juga tidak ada jaminan menteri dari nonparpol tidak bersikap korup.