Selasa 12 Aug 2014 14:00 WIB

Merdeka dari Kapitalisme

Red:

Negeri ini dikenal di berbagai belahan dunia sebagai negeri yang sangat kaya akan sumber daya alamnya. Secara geografis pun, negeri ini dikenal sangat indah. Itulah kemudian, sang pujangga dari ranah Minang, Buya Hamka, melukiskannya sebagai, "Sepotong surga yang ditempatkan Tuhan di bumi." Demikian juga Koes Plus Bersaudara dalam syair lagunya mengibaratkan negeri ini sebagai, "Negeri kolam susu, tongkat kayu pun jadi tanaman."

Di atas kesadaran tentang realitas inilah para founding fathers kita membuat konstitusi tentang cara pengelolaan negara yang pas untuk kesejahteraan  rakyat, seperti tentang bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Dalam Pasal 33 Ayat 4 UUD'45 juga ditegaskan, perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan.

Tujuannya adalah, pertama, supaya para pemimpin bangsa dapat mengelola kekayaan alam ini secara benar demi kesejahteraan seluruhnya, bukan untuk kepentingan segelintir orang. Kedua, supaya pihak manapun tidak boleh memanfaatkan kekayaan alam di negeri ini untuk kepentingannya sendiri.

Penjajahan kapitalisme neoliberal

Hal yang menjadi ironis pada saat Indonesia merayakan hari kemerdekaan yang ke-69 ini adalah bukan saja belum terciptanya kesejahteraan dan kemakmuran rakyat seluruhnya, melainkan kekayaan alam yang menjadi kekuatan bangsa itu semakin digerogoti oleh pihak asing berbenderakan kapitalisme neoliberal. Pembangunan ekonomi yang bersemangatkan demokrasi ekonomi yang berpedoman pada UUD'45 semakin diterjang globalisasi ekonomi berwajah neoliberal yang rakus dan brutal.

Karena itu, kini Indonesia semakin kehilangan kedaulatannya dalam mengurus negerinya sendiri. Kehadiran pihak asing atas nama investasi semakin menggerogoti sumber daya alam negeri ini. Kita pun hanya mengklaim isi bumi Indonesia sebagai milik kita, tetapi faktanya bukan. Karena, semua itu sudah digadaikan kepada para kapitalis atas nama investasi. Kekayaan alam di bumi pertiwi ini digiring ke negara-negara kapitalis. Freeport dan Block Cepu adalah contoh konkret bahwa bumi ini de jure milik kita, tetapi de facto milik negara-negara kapitalis.

Kapitalisme neoliberal adalah paham ekonomi yang mengangkat bendera dengan mengusung konsep pasar bebas. Dari kebebasan mengaktualisasi potensi diri dan potensi alam itulah diharapkan dapat tercipta kesejahteraan bagi semua. Akan tetapi, paham ini melupakan sifat dasar manusia yang cenderung egoistik sehingga yang terjadi adalah membuncahnya keserakahan yang kian menguras energi bumi Indonesia.

Apakah pemimpin kita terus terlena dalam situasi ini? Ingat, penjajahan ala investasi saat ini begitu ganas, bahkan jauh lebih ganas daripada zaman penjajahan dulu. Pada zaman penjajahan, Indonesia hanya dijajah oleh satu-dua negara, tetapi kini dijajah oleh banyak negara kapitalis neoliberal sehingga kerugian yang diderita Indonesia kini jauh lebih besar daripada zaman penjajahan.

Ingat juga bahwa bercokolnya kapitalisme neoliberal itu kian memperparah keadaan Indonesia dengan terus menyuburkan berbagai bentuk korupsi di tataran elite negeri. Karena, bercokolnya kapitalisme neoliberalisme disebabkan pula oleh mentalitas korup yang tumbuh subur di kalangan elite negeri. Bukan tidak mungkin masuknya dana investasi ke negeri ini dengan menguasai lahan-lahan pertambangan, perkebunan, dan lain-lain tidak terlepas dari cara kontrak kerja yang berbau amis suap dan korupsi antara pihak asing dan kaum elite negeri.

Tugas pemimpin baru

Apa pun alasannya, penguasaan kekayaan alam Indonesia oleh pihak asing harus segera dihentikan. Penjajahan gaya baru ini harus diperangi. Segala bentuk undang-undang hasil amendemen dan kontrak-kontrak karya dengan pihak asing yang merugikan Indonesia dan menguntungkan pihak asing harus ditinjau lagi. Demokrasi ekonomi yang diamanatkan UUD'45 sebelum amendemen harus dikembangkan.

Perlu dicatat, para korporat berwatak kapitalis neoliberal yang menanamkan investasi besar-besaran di negeri ini dengan dalih ikut menyejahterakan rakyat dengan terlibat dalam penciptaan lapangan kerja, tidak selamanya benar. Seperti ditulis Adam Smith, korporasi yang berwatak kapitalisme tidak bertujuan menciptakan lapangan kerja untuk kesejahteraan para pekerja karena mereka mempekerjakan orang (semurah mungkin) demi mencetak keuntungan.

Itulah tugas pemimpin baru untuk memerdekakan bangsa ini dari penjajahan gaya baru ini. Hingga kini, belum ada pemimpin bangsa yang memiliki political will yang benar-benar mengarusutamakan rakyat sehingga kesejahteraan rakyat pun masih bagaikan mimpi besar yang belum terwujud. Yang terlihat, para pemimpin kian makmur, sedangkan rakyat kian nestapa.

Dengan demikian, bagi rakyat kecil, meski bangsa ini sudah merdeka dari kolonialisme dengan telah memproklamasikan kemerdekaannya 69 tahun lalu, belum benar-benar merasakan kemerdekaan yang esensial. Setiap kali pemimpin baru dilahirkan lewat pilpres, harapan kemerdekaan yang esensial serta-merta membuncah di hadapan rakyat, tetapi harapan itu kembali terkubur dan terus terkubur.

Untunglah harapan tentang kemerdekaan yang esensial itu masih tersisa dalam genggaman rakyat dan kembali digantungkan ke pundak pemimpin terpilih. Kalau pemimpin baru ini pun kembali membawa kemerdekaan yang esensial bagi rakyat kecil, dengan terus membiarkan bercokolnya penjajahan gaya baru oleh para kapitalis neoliberal itu, rakyat akan kembali mencibir dan meninggalkannya, sambil menunggu tibanya sang waktu untuk menghadirkan lagi pemimpin baru dambaan rakyat.

Thomas Koten

Penulis, Direktur Social Development Center

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement