Suatu ketika, Iyus Sugandi, seorang peternak ayam dari Kampung Legok, Gunung Guruh, Sukabumi, berkisah tentang perjalanannya sebagai peternak rakyat. Memulai beternak ayam potong sejak tahun 1993. Lima tahun pertama adalah masa kejayaannya ketika banyak fasilitas dan kemudahan yang disalurkan melalui berbagai program pemerintah kepada peternak rakyat. Kebutuhan bibit, pakan, dan pasar pun mudah diakses sehingga praktis dia hanya fokus merawat ayam-ayamnya.
Saat krisis moneter tahun 1997-1998, banyak peternak kecil yang gulung tikar karena tidak kuat menanggung biaya, terutama pakan yang melambung tinggi. Iyus dan beberapa temannya masih bertahan meskipun sempat sempoyongan.
Namun, badai sesungguhnya datang pascareformasi, pemain besar yang sebagian besar perusahaan asing menyerbu sentra-sentra peternak rakyat. Peternak seperti Iyus dihadapkan pada dua pilihan yang semuanya pahit: beternak sendiri atau bermitra.
Beternak sendiri artinya mereka harus berjuang mati-matian melawan pemain besar, di tengah bibit yang sulit, harga pakan selangit, dan ketika harus menjual hasil panen harganya tidak bisa bersaing dengan mereka. Jadilah peternak seperti Iyus makin terjepit.
Mau tak mau pilihan bermitra pun diambil. Namun, pilihan ini ternyata menjadikan peternak rakyat juga tidak bisa bergerak. Semua kebutuhan disiapkan perusahaan, mulai dari bibit, pakan, hingga pasar. Harga pembelian daging atau telur sudah dipatok sejak awal oleh perusahaan, tetapi bibit dan pakan mengikuti harga pasar yang harus ditanggung peternak, yang dipotong ketika panen.
Pada awalnya, para peternak bisa mendapat untung. Namun, semakin lama semakin bermasalah, pakan yang dipasok tidak selalu bermutu baik, yang menyebabkan kualitas daging turun dan tidak memenuhi standar sehingga perusahaan menolak membeli. Akibatnya, peternak harus menanggung kerugian.
Pola seperti ini terjadi di mana-mana dan berjalan bertahun-tahun sehingga membunuh ribuan peternak rakyat. Hampir di semua sentra peternakan rakyat terdapat kandang-kandang kosong karena pemiliknya tak mampu lagi melanjutkan usahanya.
Entah berapa jumlah peternak rakyat yang mati tidak ada yang mengetahui, bahkan pemerintah setempat pun tidak bisa menunjukkan datanya. Namun, berapa pun jumlah mereka yang telah mati, yang pasti di bekas lahan-lahan pertenak milik rakyat itu kini telah berdiri peternakan yang semuanya milik asing, perusahaan asal Cina, Thailand, Malaysia, dan Korea.
Fenomena ambruknya perekonomian rakyat seperti yang terjadi pada sektor peternakan ayam di Sukabumi ini bukanlah sebuah kisah tunggal, tetapi terjadi di seluruh pelosok Tanah Air dan di berbagai sektor.
Di tengah arus globalisasi yang sangat deras, Indonesia harus segera berbenah untuk menciptakan ketahanan perekonomian rakyat agar mereka tidak semakin menderita. Bangsa Indonesia harus segera menyadari adanya ancaman-ancaman baru, baik yang datang dari luar maupun dari dalam.
Lihatlah bagaimana kemiskinan di Indonesia bisa dikirim dengan mudahnya dari luar. Apakah itu melalui LIBOR, melalui Standard and Poor, melalui harga komoditas, maupun melalui harga minyak yang selama ini kita "merasa" tidak bisa berbuat apa-apa.
Pernahkah kita berpikir bagaimana melindungi petani kopra di Tobelo, Halmahera Utara, yang jumlahnya puluhan ribu itu ketika harus menghadapi kenyataan di mana kopra yang sebelumnya harganya masih dalam kisaran Rp 6.000 per kilogram tiba-tiba turun kembali menjadi Rp 2.500 per kilogram, bukan karena persediaan kopra mereka berlebihan, tetapi karena harga di bursa Rotterdam turun.
Masyarakat Ekonomi ASEAN yang berlaku mulai Januari 2015 akan membawa tantangan yang semakin berat bagi rakyat. Arus barang dan jasa dari luar akan semakin bebas masuk ke Indonesia, investasi dan modal akan lebih bebas masuk, bahkan di tengah sulitnya mencari pekerjaan di Tanah Air mau tidak mau anak-anak kita harus siap menghadapi persaingan baru dengan tenaga-tenaga kerja dari luar negeri yang juga akan bebas masuk ke Indonesia.
Upaya bangsa Indonesia dalam menghadapi tantangan globalisasi menjadi semakin kompleks dengan diterapkannya otonomi daerah, di mana menggerakkan program secara integral dari pusat hingga ke daerah mengalami kesulitan tersendiri.
Pemahaman kepala daerah dalam membangun ekonomi pun sangat beragam, sebagian besar berbicara tentang pentingnya investasi untuk membuat daerahnya segera terlihat maju, sehingga tidak lagi melihat apakah investasi itu akan membuat kehidupan perekonomian rakyat semakin mudah atau bahkan sebaliknya.
Maka tidak mengherankan jika di tengah pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi mencapai 6 persen sejak tahun 2008 itu, ternyata tidak dinikmati oleh lapisan di bawah, bahkan menyisakan kisah nestapa bagi rakyat.
Untuk menghadapi tantangan itu, satu pekerjaan rumah terbesar yang harus kita lakukan adalah bersatu padu dengan semua stakeholder agar bisa "memegang" pasar dalam negeri. Jika kita mampu menciptakan sebuah kondisi di mana pasar dalam negeri kita kuasai, maka akan menjadi basis dari keberlangsungan perekonomian rakyat. Bukan sebuah kemustahilan mentransformasikan kekuatan pasar tersebut untuk membuat perekonomian rakyat itu sendiri menjadi sebuah norma yang akan dijaga dan ditumbuhkan oleh semua pihak, termasuk pendatang global.
Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah memastikan agar semua kepala daerah yang merupakan benteng pertahanan terakhir dan memegang hak otonom memiliki cara pandang sama dalam membangun ekonomi, memiliki pembelaan yang jelas terhadap perekonomian rakyat dan berwawasan nusantara.
Saya meyakini bahwa peran Lemhanas menjadi semakin strategis di tengah era globalisasi saat ini. Lemhanas merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki alasan dan kemampuan untuk membekali semua pemimpin di negeri ini dari mulai sipil, militer, parpol, ormas, hingga swasta. Sebagaimana tujuan awal Lemhanas didirikan yaitu untuk menciptakan integrasi dan harmoni di antara semua pemimpin yang ada di Indonesia.
Lemhanas perlu memberikan perhatian khusus pada aspek perekonomian rakyat ini. Hari ini Lemhanas dituntut untuk lebih canggih dan lebih cepat karena harus "bersaing" dengan Harvard. Kita tahu, secara berkala, Harvard memberikan pembekalan kepada para bupati dan wali kota kita.
Pertanyaannya, paradigma mana yang akan melekat pada para kepala daerah itu, paradigma ketahanan ekonomi dengan wawasan nusantara atau paradigma liberalisasi?
Perekonomian rakyat yang terus kita biarkan berguguran akan meminta biaya yang sangat mahal bagi bangsa Indonesia. Maka membangun dan melindungi mereka adalah sebuah keniscayaan.
Heppy Trenggono
Pemimpin Gerakan Beli Indonesia