Kamis 02 Jun 2016 14:00 WIB

Kalender Islam Global

Red:

Akhir-akhir ini, diskusi tentang kalender Islam global memperoleh perhatian para ulama dan astronom di berbagai negara Islam. Pada 28-30 Mei 2016/21-23 Sya'ban 1437 H yang lalu telah diselenggarakan Konferensi Internasional Penyatuan Kalender Islam di Istanbul Turki yang merupakan tindak lanjut dari konferensi sebelumnya pada 18-19 Februari 2013/8-9 Rabiul Akhir 1434 di tempat yang sama.

Konferensi ini dihadiri sekitar 200 peserta dari berbagai negara. Salah satunya adalah Syekh Yusuf al-Qaradlawi, ketua Persatuan Ulama Islam Sedunia atau International Union for Muslim Scholars. Pada kesempatan ini, ia mengimbau berbagai pihak untuk berupaya dengan sungguh-sungguh mewujudkan kalender Islam yang mapan agar umat Islam dapat berpuasa dan merayakan hari raya pada hari yang sama. Bahkan, secara khusus, ia berharap kepada para astronom yang hadir dapat membantu para pakar syariah dalam menyatukan umat Islam dengan cara mewujudkan kalender Islam yang mapan.

Perlu diketahui dalam konferensi ini diusulkan dua konsep kalender Islam yang telah dikaji oleh Scientific Committee, yaitu kalender Islam bizonal dan kalender Islam terpadu. Kalender Islam Bizonal digagas oleh Nidhal Guessoum dan Mohammad Syawkat Odeh. Prinsip Kalender Islam Bizonal adalah (a) dunia dibagi dua zona, yaitu zona barat dan zona timur, (b) awal bulan kamariah dimulai di kedua zona itu pada hari berikutnya apabila konjungsi (tawalludul hilal) terjadi sebelum fajar di Makkah, dan (c) awal bulan kamariah dimulai pada hari berikutnya di zona barat dan ditunda sehari pada zona timur apabila konjungsi terjadi antara fajar di Makkah dan pukul 12.00 UT.

Sementara itu, kalender Islam terpadu digagas oleh Jamaluddin Abdul Razik dengan tiga prinsip yang dikembangkan, yaitu prinsip hisab, prinsip transfer rukyat, dan penentuan permulaan hari. Sayangnya, kajian yang dilakukan dalam konferensi ini sangat terbatas. Peserta yang ingin menyampaikan pandangan dibatasi dan persoalan-persoalan yang dikemukakan masih bersifat "elementer", belum mengkaji kedua konsep tersebut secara substantif. Akibatnya, terjadi "dominasi" dalam upaya mewujudkan kalender Islam global. Hal ini dibuktikan pengambilan keputusan melalui voting. Ada 130 peserta yang memiliki hak suara. Hasilnya, 80 suara untuk kalender Islam terpadu, 30 suara untuk kalender Islam bizonal, dan sisanya suara rusak dan abstain.

Peristiwa ini tentu menarik dikaji, mengapa di era modern dalam menyelesaikan problem keagamaan untuk penyatuan kalender Islam harus melalui voting? Bagi kelompok pendukung kalender Islam terpadu tentu sangat mengapresiasi keputusan tersebut, sedangkan kelompok pendukung kalender Islam bizonal merasa perlu membangun argumentasi yang lebih mapan dan operasional tidak semata-mata melalui voting. Keinginan untuk menyatukan umat melalui kehadiran kalender Islam yang mapan perlu direspons positif. Tapi, proses untuk mewujudkan tidak boleh mengambil "jalan pintas". Jika ditelusuri lebih jauh, upaya penyatuan kalender Islam sudah berjalan hampir setengah abad. Keputusan-keputusan yang dihasilkan dari berbagai konferensi tidak efektif, mengapa? Karena, problem internal belum terselesaikan. Bukti konkretnya adalah hasil keputusan konferensi Turki 1978 yang menyepakati kaidah-kaidah penentuan awal bulan kamariah dan pembentukan komisi penyusunan kalender Islam.

Kaidah penentuan awal bulan kamariah yang dimaksud adalah (1) pada dasarnya penetapan awal bulan dengan rukyat, (2) sah menentukan masuknya awal bulan dengan rukyat di salah satu tempat dan berlaku seluruh dunia, dan (3) sahnya penggunaan hisab dalam penetapan awal bulan kamariah harus dipenuhi dua syarat, yaitu elongasi delapan derajat dan ketinggian hilal minimal lima derajat.

Selanjutnya, konferensi menyetujui 10 negara sebagai anggotanya bertugas melakukan perhitungan kalender untuk setiap dua tahun. Kesepuluh negara tersebut adalah Aljazair, Bangladesh, Indonesia, Irak, Qatar, Kuwait, Mesir, Saudi Arabia, Tunisia, dan Turki. Komisi ini telah melakukan sidang sebanyak tujuh kali, yaitu di Istanbul, Aljazair, Tunisia, Jeddah, dan Indonesia. Pertemuan-pertemuan tersebut menghasilkan kalender hijriyah sampai 1411 H/1991. Pada pertemuan di Jakarta, 1987, disepakati pertemuan kedelapan akan dilaksanakan di Kuwait atau Irak pada 1989. Namun, sebelum tiba waktunya, meletus perang Irak-Kuwait, sehingga sidang kedelapan Komisi Penyusuan Kalender Islam Internasional ditunda dan belum bisa terwujud hingga kini.

Dalam kasus Indonesia, hasil Konferensi Turki 1978 di atas tidak begitu efektif meskipun Indonesia terlibat aktif dalam berbagai pertemuan. Kenyataan ini dapat dipahami karena problem internal belum terselesaikan. Delegasi yang hadir berubah-ubah belum mempresentasikan konsep yang disepakati, sehingga wajar keputusan-keputusan yang dihasilkan kurang direspons secara maksimal.

Hasil keputusan konferensi di Istanbul Turki 2016/1437 H merupakan ikhtiar positif dan perlu diapresiasi, tapi sebagaimana diuraikan sebelumnya keputusan tersebut tidak akan bermakna dan akan mengalami nasib yang sama, seperti keputusan-keputusan sebelumnya jika pemerintah Arab Saudi tidak memberikan dukungan sepenuhnya dan problem internal masing-masing negara belum terselesaikan. Apalagi, hasil konferensi ini tidak memiliki kekuatan karena bukan government to government (G to G) dan tidak serta-merta dapat diaplikasikan karena masih banyak hal yang perlu dirumuskan.

Kehadiran kalender Islam terpadu merupakan sebuah keniscayaan. Untuk mewujudkannya, perlu mekanisme yang jelas dan terarah. Hal ini sebagaimana telah dilakukan dalam mewujudkan Kompilasi Hukum Islam. Di sinilah negara perlu hadir mengarahkan dari "solidaritas individual-sektarian" menuju "soidaritas kebangsaan-keumatan". Proses unifikasi merupakan proyek besar yang harus dilakukan melalui ijtihad-kolektif, terukur, dan terencana.

Oleh karena itu, menurut saya, saat ini adalah waktu yang tepat bagi umat Islam Indonesia menyatukan langkah dan membangun visi bersama, strategi, dan tahapan untuk mewujudkan kalender Islam yang mapan dan dapat diterima semua pihak. Untuk itu, diperlukan langkah konkret dibarengi dukungan pihak-pihak terkait agar proses mewujudkan kalender Islam nasional tidak berjalan di tempat.

Kehadiran kalender Islam global merupakan cita-cita bersama. Tapi, proses yang panjang dan memperhatikan situasi politik dunia Islam perlu dipilih yang lebih memungkinkan mewujudkannya. Ibarat dalam rumah tangga, keutuhan keluarga dan kebersamaan lebih diutamakan dari pada keutuhan di luar, tapi di dalam keluarga terjadi perpecahan. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu". Wa Allahu a'lam bi as-sawab.

Susiknan Azhari

Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement