JAKARTA -- Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengundang pakar politik, ahli hukum, dan pegiat pemilu untuk membahas aturan penentuan presiden dan wakil presiden 2014. Pembahasan tersebut untuk menentukan apakah sebaran suara provinsi diabaikan atau dipakai dalam penentuan pemenang pilpres.
Komisioner KPU Ida Budhiati mengatakan, berdasarkan diskusi tersebut KPU akan menyiapkan dua alternatif. Pertama, mengajukan uji tafsir kepada Mahkamah Konstitusi (MK) tentang aturan penentuan presiden dan wakil presiden yang tertuang dalam UUD 1945 dan UU Pilpres Nomor 42 Tahun 2008.
"Kedua, KPU akan menegaskan dalam peraturan KPU sebagai kekuatan hukum yang akan dipakai dalam penentuan hasil pemilu presiden. Akan kami putuskan dalam rapat pleno dua hari ke depan," kata Ida, di Jakarta, Rabu (11/6).
Menurut Pasal 6A UUD 1945 disebutkan syarat kemenangan capres-cawapres adalam memperoleh lebih dari 50 persen suara tingkat nasional dan mendapat setidaknya 20 persen suara di lebih dari setengah jumlah provinsi. Regulasi soal sebaran suara di provinsi juga tertuang dalam UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
KPU mulanya berencana mengabaikan sebaran suara provinsi karena peserta pilpres hanya dua pasang. Kendati demikian, hal itu dikhawatirkan memunculkan gugatan dari calon yang kalah.
Guru besar ilmu politik Ramlan Surbakti mengatakan, saat terlibat dalam penyusunan UU, Indonesia mengadopsi aturan pemilihan presiden di Nigeria. Yaitu menggabungkan hasil perolehan suara nasional dan sebaran suara sesuai wilayah dalam menentukan presiden dan wakil presiden terpilih. Nigeria dipandang memiliki kemiripan dengan Indonesia dalam hal kemajemukan penduduknya.
Menghadapi pilpres yang hanya diikuti dua pasangan, menurut Ramlan, kemungkinan tidak terpenuhinya syarat sebaran provinsi memang sangat kecil. Namun, kemungkinan sekecil apa pun harus dipertimbangkan KPU untuk mengantisipasi gugatan dari kedua pasangan calon.
Ramlan menyarankan, KPU membangun kesepakatan dengan dua pasangan calon lengkap dengan berita acara yang diteken kedua pasang calon dan KPU. Kesepakatan tersebut kemudian dituangkan dalam PKPU.
Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) UGM Zainal Arifin Mochtar mengatakan, secara kontekstual KPU memang harus membawa persoalan tersebut ke MK. Meskipun diragukan MK akan memutuskan berdasarkan kondisi pilpres hanya diikuti dua pasangan.
Sebaliknya, pakar hukum tata negara Irman Putra Sidin mengatakan, KPU harusnya bisa menyelesaikan sendiri tanpa meminta penafsiran MK. Menurutnya, sebagai lembaga negara yang independen KPU jangan mengambil kesimpulan dengan meminta bantuan dari lembaga negara lainnya.
Peneliti Perludem Fadli Ramadhanil mengatakan, Kamis (12/6) Perludem akan memasukkan uji tafsir terhadap pasal yang mengatur sebaran suara provinsi ke MK. "Dengan konteks pasangan calon hanya dua ini kami menginginkan kepastian hukum," kata Fadli.rep:ira sasmita ed: fitriyan zamzami