oleh:Endro Yuwanto -- "Brasil, Eu te Amo." Tulisan ini terpatri di dinding teratas dekat tangga mozaik keramik yang artistik di Escadaria Selaron, Santa Teresa, Lapa, Rio de Janeiro, Brasil. Di sinilah para seniman jalanan Rio de Janeiro berkumpul dan bersua dengan para penggemar seni dari seluruh dunia.
Jangan membayangkan tempat ini seperti gedung kesenian yang megah ataupun taman dan gelanggang seni yang luas. Escadaria hanyalah berupa ratusan anak tangga di gang sempit dengan lebar sekitar empat meter yang menanjak sesuai kontur jalanan berbukit.
Namun, jangan ditanya tentang gairah seni di sana. Di sisi-sisi tangga, puluhan seniman lokal menciptakan karya sekaligus menjajakannya. Ada kerajinan tangan, ukiran kayu, dan lukisan alam dengan media kanvas dan kertas. Beberapa anak muda juga memainkan musik sembari menarikan capoeira. Di sinilah para turis bisa menyaksikan Brasil tanpa embel-embel sepak bola ataupun Piala Dunia.
Escadaria Selaron justru bukan dilahirkan orang Brasil, melainkan oleh seniman kelahiran Cile, Jorge Selaron. "Ini adalah bentuk penghargaan saya terhadap orang-orang Brasil," kata Selaron. "Brasil, Eu te Amo" memiliki arti "Brasil, aku cinta padamu".
Selaron lahir pada 1947. Setelah bepergian dan melanglang buana ke lebih dari 50 negara, Selaron tiba di Rio de Janeiro pada 1983. Pada 1990 ia memiliki ide untuk menghasilkan karya di tempat ia biasanya menjajakan karyanya. Seorang diri, ia menghias 250 anak tangga sepanjang 125 meter dengan menempel mozaik keramik warna hijau, biru, dan kuning yang melambangkan bendera Brasil. "Pada awalnya, orang-orang menertawakan apa yang saya perbuat," ucapnya.
Sejak memiliki pekerjaan menghias anak tangga dengan mozaik keramik, Selaron mengaku, mengubah profesinya dari yang semula pelukis menjadi pematung dan pemahat. "Tangan saya berlumuran darah, kapalan, dan saya sering kesakitan. Meskipun pekerjaan itu sulit, saya tetap bergairah menyelesaikannya."
Lantaran terlalu sibuk menghias anak tangga dengan mozaik keramik, Selaron mulai jarang menjajakan karyanya. Ia pun harus berhadapan dengan pemilik rumah kontrakan karena sering terlambat membayar uang sewa. Sambungan telepon di rumahnya juga diputus karena ia tak sanggup membayar. "Saya terus bekerja, jarang istirahat, dan saya berhenti ketika saya tidak punya uang lebih banyak untuk mendapatkan bahan," katanya.
Ketika tak punya uang lagi, Selaron kembali melukis untuk mendapatkan uang, sehingga ia dapat melanjutkan pekerjaannya menghias ratusan anak tangga. Ia sudah membeli ratusan kaleng cat dan lebih dari 2.000 keramik yang berasal lebih dari 60 negara sebagai bahan karya anak tangganya. "Saya telah menempatkan sebagian besar hidup saya dalam karya saya ini. Saya beruntung menemukan sebuah teknik yang fantastis untuk mengubah pola di keramik. Hal ini memberikan energi yang unik."
Kerja keras selama bertahun-tahun yang dilakukan Selaron membuahkan hasil. Kini, para turis dari mancanegara tak hanya mengenal patung Cristo Redentor Corcovado, Gunung Sugarloaf, Pantai Copacabana dan Ipanema sebagai ikon Pariwisata Kota Rio de Janeiro. Para turis itu pun merasa tak lengkap berada di Brasil jika tak berkunjung ke Escadaria Selaron. "Tempatnya asyik dan unik," kata seorang turis asal Amerika Serikat, Selma, yang hendak berpose di sisi tangga.
Namun, benarkah sama sekali tak ada embel embel tentang Piala Dunia di Escadaria Selaron? Tunggu dulu, di dekat gerbang masuk terlihat anak-anak muda yang menjual kaus karya sendiri.
Di kaus-kaus itu ada tulisan unik seputar Piala Dunia. "FIFA Go Home!", "FIFA F..k Festival (FFF)", "Welcome to the Olympic and World Cup disgraced city of Rio de Janeiro." Wah, ternyata kaus ini ekspresi kekecewaan dan protes terhadap penyelenggaraan Piala Dunia 2014 yang menelan dana ratusan juta reais atau triliunan rupiah, padahal di sisi lain masyarakat Brasil masih berada dalam himpitan kesulitan ekonomi. Hmm boleh juga …