Sabtu 16 Aug 2014 16:00 WIB

Persidangan MK Dituntut Lebih Substansial

Red: operator

Saksi ahli Prabowo-Hatta berpendapat mekanisme pemilih khusus tambahan bisa jadi acuan terjadinya pelanggaran asas pemilu.

JAKARTA -Mahkamah Konstitusi (MK) kembali melanjutkan sidang perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) presiden dan wakil presiden di ruang sidang pleno Gedung MK, Jakarta Pusat. Sidang mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan pihak Prabowo Subianto-Hatta Rajasa sebagai pemohon, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai termohon, dan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pihak terkait.

Kubu Prabowo Subianto-Hatta Rajasa menghadirkan pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra sebagai saksi ahli. Yusril mengkritik persidangan MK yang terlalu berkutat mempersoalkan hal prosedural. Menurut nya, MK harus melangkah ke arah lebih sub stansial dalam mengadili dan memutuskan seng keta pemilihan presiden. "Seperti di negara Thailand, mahkamah dapat menilai apakah pemilu konstitusional atau tidak," kata Yusril di ruang sidang pleno MK, Jumat (15/8).

Yusril mengatakan, sesuai Pasal 6 a ayat 1 UUD 1945 yang menyebutkan presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat. Sedangkan, mekanismenya terdapat dalam Pasal 22 e UUD 1945 yakni melalui pemilu yang berasas lang sung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

"Karena itu, maka pelaksanaan kedaulatan rakyat bukan persoalan norma hukum biasa tapi berkaitan dengan norma konstitusi.

Pilpres adalah persoalan konstitusi sehingga jika timbul perselisihan lembaga yang berwenang memutuskan adalah MK," tambahnya.

Masalah pemilu, kata Yusril, terkait konstitusional dan legalitas, seperti asas pelaksanaan pemilu telah dilaksanakan semestinya atau tidak. "Karena presiden dan wakil presiden terpilih harus memerintah dengan memperoleh legitimasi kekuasaan. Karena tanpa itu presiden dan wakil presiden akan krisis legitimasi. Ada baiknya dalam memeriksa PHPU, MK melangkah ke arah itu," jelasnya.

Pakar hukum tata negara Universitas Indonesia (UI) Margarito Kamis berpendapat, pelanggaran pilpres yang terjadi bersifat konstitusional. Menurut Margarito, pelanggaran terhadap asas-asas pemilu sama saja pelanggaran terhadap konstitusi karena asas-asas tersebut merupakan amanat konstiusi, yakni UUD 1945.

Menurut Margarito, berbagai pelanggaran yang terjadi secara prosedural, seperti mekanis mepemilihan dengan jalur daftar pemilih khusus tambahan (DPKTb), bisa dijadikan acuan terjadinya pelanggaran asas-asas pemilu. "Saya mengerti, bahwa negara ingin mem berikan jaminan hak suara setiap warga, tapi kalau itu pikirannya, tidak perlu ada atur an ketat DPT (daftar pemilih tetap). Cukup saja dia warga negara, berusia 17 atau sudah menikah. DPKTb ini harus didiskualifikasi," ujar dia saat menjadi saksi ahli yang di ajukan kubu Prabowo-Hatta.

Mantan hakim MK, Harjono, saat menjadi saksi ahli untuk KPU mengatakan DPKTb men jadi usaha untuk memfasilitasi hak warga negara yang tidak terdaftar di DPT. DPKTb, kata Harjono, tidak merupakan suatu usaha yang dilakukan terstruktur dan dilandasi untuk memenangkan kontestan tertentu dengan kecurangan. "Siapa yang diun tungkan? No one knows, nggakada yang tahu.

Kalau diposisikan DPKTb dengan kemenangan calon tertentu, itu tidak terbukti," tambahnya.Sementara itu, tim advokasi Jokowi-JK, Sirra Prayuna, keberatan dengan kehadiran Yusril sebagai saksi ahli. "Posisi Yusril, kita mengetahui bahwa beliau adalah salah satu partai yang ada di koalisi," ujarnya.

Menanggapi keberatan tim Jokowi-JK, Hakim Ketua Hamdan Zoelva menjelaskan, tidak ada masalah dengan hal tersebut. "Tidak masalah, itu boleh saja. Penilaian nanti ada di tangan majelis," ujar Zoelva.

rep:c87/c54, ed: muhammad fakhruddin

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini

Apa yang paling menarik bagi Anda tentang Singapura?

1 of 7
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement