Selasa 07 Oct 2014 16:00 WIB

Kedaulatan Netizen

Red:

Pengesahan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah (UU Pilkada) di DPR memicu kontroversi. UU Pilkada menjadi salah satu topik politik terhangat dalam pemberitaan media online dan media sosial. Banyak juga di antara pengguna media sosial yang mencaci maki dan menghujat keputusan tersebut. Netizen menilai UU Pilkada telah merebut hak rakyat karena mengubah pilkada langsung menjadi pilkada lewat DPRD.

Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie melihat penolakan masyarakat, yang salah satunya ditunjukkan di Twitter, sangat wajar karena memang terjadi keganjilan dalam proses formalnya. "Twitter adalah gambaran dari aspirasi yang luas dari masyarakat, tidak heran soal ini menjadi trending tropic oleh kedaulatan Twitter," kata Jimly yang juga mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu, akhir pekan lalu.

Berdasarkan hasil analisis media sosial yang dikeluarkan Indonesia Indikator (I2) pada 23 Agustus hingga 23 September 2014, terdapat 102.074 tweet terkait pembahasan mengenai pilkada. Penolakan dari netizen terus meningkat menjelang disahkannya UU Pilkada. Sebanyak 91,57 persen netizen mengunggah dukungan terhadap pilkada langsung atau menolak pilkada lewat DPRD.

Menurut Jimly, masyarakat penggugat UU Pilkada perlu kreatif dalam melancarkan gugatannya di hadapan Mahkamah Konstitusi. "Di samping pengujian materi, juga harus menekankan pengujian formalnya," katanya.

Aspek formal, maksud dia, adalah pengujian apa saja di luar pengujian materi yakni terkait kerancuan bentuk atau proses pembentuknya. Aspek formal inilah yang akan berpeluang untuk membatalkan UU. Misalnya, kata dia, materinya undang-undang tapi bentuknya PP atau perpres, atau bila dilihat dari proses pengesahannya. Dapat disinggung misalnya soal presiden yang menyatakan tidak setuju tapi menteri dalam negeri yang mewakili presiden dalam sidang menyatakan setuju. "Ini yang mesti dipersoalkan, tidak menyangkut materi tapi prosesnya," tuturnya.

Saran selanjutnya, penggugat harus memiliki pengacara yang kreatif dan canggih. Filosofinya, kata dia, semua orang di mata lawyer adalah benar kecuali oleh hakim dibuktikan salah. Beda halnya dengan KPK dan kejaksaan yang berpandangan sebaliknya yang menyatakan semua salah kecuali oleh hakim dinyatakan benar.

Menyoal UU Pilkada, Jimly menyebutnya sebagai korban dari pertarungan nafsu dua kelompok pendapat. "UU Pilkada ini kan gara-gara buru-buru voting," tegasnya. Padahal, DPR seharusnya mengedepankan prinsip musyawarah. Jangan mentang-mentang demokrasi, lalu langsung melakukan pemungutan suara.

Padahal, lanjut dia, kalau dalam keadaan tenang, belum tentu pengusung UU Pilkada itu semuanya sependapat. Mungkin ada 50 persen yang menolak dan sisanya setuju. Koalisi Merah Putih pun, menurut Jimly, belum tentu semua sependapat dengan pemilihan kepala daerah secara tidak langsung.

Sebenarnya, lanjut dia, waktu sidang tidak pas sebab dalam fraksi masih terjadi pengelompokan pendapat pascapilpres. "Sama-sama belum move on, yang kalah masih kecewa, yang menang masih kelewat bahagia," tuturnya.

Jimly juga melihat masing-masing kubu tengah memperebutkan kepentingan jangka pendek dan jangka panjang. Kepentingan jangka pendek ialah perebutan jabatan utama di MPR, DPR, dan DPD, sementara kepentingan jangka panjangnya ialah penguasaan kepemimpinan kepala daerah melalui mekanisme yang diusung. "Jadi, sebenarnya bukan untuk kepentingan bangsa yang sejati. Tidak objektif mendiskusikannya. Ujung-ujungnya, masyarakat lagi yang kena," ujarnya. rep:c78 ed: muhammad fakhruddin

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement