Ketika mula-mula jadi wartawan, saya ingat sempat “plesir” ke kawasan Tanah Tinggi, Senen, Jakarta Pusat. Letaknya tak jauh dari Stasiun Senen. Hanya sekali perjalanan naik bus kota dari Istana Negara.
Di lokasi itu, ada rel kereta api. Di tepi rel kereta api, biasanya jaraknya tak sampai dua meter, bertebaran tenda-tenda dari terpal warna biru dan jingga. Saat kereta api melintas, tak jarang tenda-tenda tersibak dan kaum-kaum terpinggirkan di Jakarta yang menempatinya terungkap. Mereka adalah mantan narapidana, transgender, peminta-minta, dan preman stasiun.
Mereka hidup diselingi deru kereta dan bau sampah yang menguar. Tapi, boleh percaya boleh tidak, untuk tinggal di salah satu tenda itu, Anda harus membayar Rp 50 ribu tak kurang tiap bulannya.
Permukiman-permukiman serupa, sayangnya, masih mudah ditemukan di pusat dan tepian Ibu Kota. Di kolong jembatan, tepi sungai, dan lokasi-lokasi yang tak jauh dari tempat warga mengakumulasi sesampahan yang mereka buang sehari-hari.
Dikelilingi lokasi-lokasi dengan tempat tinggal tak layak tersebut, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menandatangani Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 81 Tahun 2004 tentang Pengadaan Rumah bagi Mantan Presiden Dan/Atau Mantan Wakil Presiden Republik Indonesia yang sebelumnya telah diganti dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2007.
Aturan-aturan baru dicantumkan dalam revisi yang dituangkan dalam Keppres Nomor 52 Tahun 2014 tersebut. Sebagian di antaranya menjamin kenyamanan para mantan presiden dan mantan wakil presiden selepas menjabat.
Di antara yang diatur adalah soal lokasi rumah untuk mantan pimpinan negara tersebut. Disyaratkan dalam undang-undang, kediaman tersebut mesti berada pada lokasi yang mudah dijangkau; memiliki jaringan jalan memadai; memiliki bentuk, keluasan, dimensi, desain, dan tata letak ruang yang dapat mendukung aktivitas mantan presiden dan mantan wakil presiden beserta keluarga. Kediaman tersebut juga diwajibkan tidak menyulitkan dalam penanganan keamanan dan keselamatan mantan presiden dan wakil presiden.
Soal luas dan harga rumah tersebut akan diatur dalam peraturan menteri keuangan. Namun, kita bisa mengira-ngira bahwa rumah yang terletak di lokasi yang mudah dijangkau serta mendukung keperluan dan aktivitas mantan presiden tentu tak bakalan murah biayanya.
Rumah untuk para mantan presiden dan mantan wakil presiden juga mesti sudah tersedia maksimal enam bulan setelah para pejabat bersangkutan lengser.
Dan lebih utama, pengadaan rumah tersebut akan dibiayai oleh APBN. Dalam satu dan lain hal, itu berarti rumah buat mantan presiden didanai oleh pajak yang dibayarkan warga.
Pihak Kesekretariatan Negara mengungkapkan, revisi keppres tersebut bukan keinginan Presiden. SBY semata memfasilitasi keinginan wakil presiden terdahulu. Kendati demikian, atas usul siapa pun, hal itu sedikit banyak menunjukkan betapa pejabat-pejabat di negara ini sedikit sekali punya empati. Terutama bila jauh dari masa-masa menjelang pemilihan umum.
Saya sepakat bahwa penghormatan untuk mantan pimpinan negara bukan hal yang tabu. Dalam kadar tertentu, ia adalah sejenis kebaikan yang belakangan sedikit terabaikan.
Tapi, penghormatan punya batas dan mestinya melihat sirkumstansi. Saat pemerintah sudah bisa menjamin atau setidaknya tampak bekerja keras mengupayakan perumahan yang layak untuk sebagian besar masyarakat, menurut saya, tak ada yang keberatan kalau mantan presiden dihadiahi rumah mewah.
Tapi, saat menurut Badan Pusat Statistik (BPS) masih 22 persen warga Indonesia atau sebanyak 13 juta keluarga tinggal di daerah ilegal, rumah mertua, maupun menyewa, saya kira wajar meminta para pejabat setidaknya menunjukkan empati.
Fitriyan Zamzami