Terkait UU Perlindungan Anak, siapa yang sebaiknya menjadi eksekutor hukuman kebiri?
Kita menanyakan ke pemerintah, mereka tidak bisa menjelaskan siapa yang akan melakukan eksekusi. Dia jawabannya mungkin eksekutornya dari dokter polisi atau dokter militer.
Sedangkan, IDI (Ikatan Dokter Indonesia) tidak bisa menjadi eksekutor. Dan, semua yang namanya dokter memiliki sumpah untuk menyembuhkan serta mengobati, bukan untuk menyiksa, apalagi memberikan hukuman. Itu (eksekusi) tidak bisa dilakukannya karena mereka melanggar kode etik mereka, melanggar sumpah mereka, dan tentunya mereka bisa kehilangan izin praktik seumur hidup jika mereka tetap menjadi eksekutor.
Bagaimana soal teknis eksekusinya?
Kita juga sempat menanyakan apakah itu berbentuk suntikan atau dalam bentuk lain, dan implementasikan bagaimana? Kalau memang ini hukuman tambahan. Artinya, baru bisa dijalankan setelah pelaku menjalankan pidana pokoknya, 10 tahun, 20 tahun, atau seterusnya.
Bagaimana tanggapan Anda terkait penolakan IDI untuk menjadi eksekutor?
Sangat mulia karena mereka punya sumpah meskipun itu perintah. Karena, sumpah di atas undang-undang. Apalagi, ini bukan sumpah yang konyol ini, seperti sekte yang tidak jelas. Ini sumpah untuk menyembuhkan orang. Karena, bayangkan teroris sekalipun kalau ketangkap, kalau ada luka itu harus dirawat.
Dan, bagi saya setiap orang kalau ngomong tentang itu, pelaku yang kejahatan luar biasa, harus memberikan hukuman yang setimpal, sejak kapan? ini kalau kita melihat sejarah, sejak kapan kekejaman dilawan dengan kekejaman akan menimbulkan hal yang baik. Kalau dikatakan hukum saja buat mereka sengsara dan seterusnya, kalau begitu apa bedanya kita dengan mereka.
Apa alasan mendasar Gerindra menolak Perppu Kebiri menjadi undang-undang?
Banyak catatan yang seharusnya menjadi bahan pertimbangan yang belum diakomodasi di dalam perppu tersebut dan akan menjadi kekurangan yang cukup fatal bila tidak diperbaiki. Pertama, fokus yang diberikan saat ini tertuju kepada para pelaku, sedangkan korban yang jumlahnya terus bertambah belum mendapatkan perhatian penuh atau yang sepantasnya dari negara.
Trauma yang disebabkan oleh kejahatan seksual, apakah itu menimpa usia dewasa, terlebih terhadap anak, bukanlah sebuah trauma yang dapat disembuhkan dengan sekadar sekali atau dua kali sesi terapi. Sangat disayangkan, negara belum memperkuat sistem rehabilitasi korban yang ada. Sehingga dengan keluarnya Perppu Nomor 1/2016, kandas pula harapan para aktivis dan keluarga korban dan pegiat yang memperjuangkan hak-hak korban.
Namun, pada akhirnya perppu tetap disahkan menjadi undang-undang?
Kami telah memperjuangkan semaksimal mungkin agar aspirasi mereka dapat diakomodasi ke dalam UU Perlindungan Anak. Namun, pada akhirnya proses demokrasi di DPR berujung pada hasil yang berbeda dengan harapan. Ini boleh jadi mengecewakan. Tetapi, Fraksi Gerindra dapat sampaikan bahwa lobi-lobi sudah dilakukan dan dicapai kesepakatan bersama bagi dilakukannya revisi berikutnya selekasnya agar UU Perlindungan Anak menjadi lebih komprehensif lagi. Oleh Ali Mansur, ed: Fitriyan Zamzami