Republika/Tahta Aidilla
DENPASAR -- Mahalnya harga cabai, khususnya cabai rawit, tidak hanya membuat konsumen rumah tangga menjerit. Para pengelola warung makan hingga restoran menyiasatinya dengan beragam cara.
Di Denpasar, Bali, pemilik rumah makan khas Minangkabau, Simpang Ampek, Juwita Astuti menjelaskan, kualitas dan harga makanan yang disajikan tetap menjadi fokus perhatian. Untuk menyiasati tingginya harga cabai merah, Juwita menyebutkan, sejumlah menu ia ganti dengan menggunakan cabai hijau.
"Sejauh ini, alhamdulillah, tidak ada komplain dari pelanggan," ujar Tuti, sapaan akrabnya, kepada Republika, Senin (9/1). Menurut dia, rata-rata pengusaha rumah makan khas Minangkabau mempertahankan harga makanan yang dijual. Tujuannya agar pelanggan setia mereka tidak kabur.
Di Jakarta, pemilik warung makan khas Sunda di Mapolda Metro Jaya, Erna, menjelaskan, tingginya harga membuat ia mengurangi pemakaian cabai rawit. Sebab, harga cabai per kg di Ibu Kota telah menembus Rp 130 ribu per kg. Padahal, biasanya hanya berkisar antara Rp 40 ribu sampai Rp 45 ribu per kg.
"Sekarang lihat saja, sudah satu minggu saya tidak pernah pakai cabai. Saya enggak pakai cabai rawit sama sekali. Pakainya hanya cabai keriting," kata Erna.
Menurut dia, tingginya harga cabai telah berbuah protes pelanggan lantaran masakan khas Sunda yang ia sajikan sudah tidak pedas lagi.
Di Bogor, Jawa Barat, pemilik warung makan khas Sunda, Epon Herawati, juga mengeluhkan melambungnya harga cabai. Dia menyebut harga cabai tak kunjung turun sebulan terakhir.
Epon mengaku tidak bisa serta-merta menaikkan harga karena itu akan merugikannya. Apalagi, para konsumen kebanyakan menyukai sambal sebagai pelengkap menu makanan.
Juwita, Erna, dan Epon berharap harga cabai rawit segera turun. Pemerintah pun diminta bertindak konkret.
Mahalnya cabai rawit juga menggerus laba produsen sambal. Seorang pengusaha sambal kemasan berlabel Miss Sambel, di Malang, Jawa Timur, Zaki Firmansyah, mengaku labanya anjlok lantaran harga cabai terus naik. Sementara, di sisi lain, Zaki belum bisa menaikkan harga jual produknya lantaran khawatir ditinggalkan konsumen. "Karena harga sambal tidak dinaikkan, konsekuensinya laba berkurang hingga 50 persen," katanya.
Zaki mengungkapkan, jika harga bahan baku sambal terus naik, ia terpaksa harus menghentikan produksi. Sebab, biaya produksi terlampau tinggi. Ia pun berharap harga cabai segera kembali normal sehingga usaha produksi sambal dalam kemasannya tetap berjalan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Adhi Lukman mengklaim meningkatnya harga cabai membuat profit industri makanan dan minuman di Tanah Air berkurang. Menurut dia, kebutuhan makanan dan minuman tidak mengalami kekurangan bahan baku cabai karena telah memiliki kontrak dengan petani.
"Tapi, masalah di harga jual produknya. Kita enggak bisa serta-merta menaikkan juga," ujar Adhi.
Tanam cabai
Di Purwakarta, Jawa Barat, sejumlah orang tua siswa kelimpungan dengan kebijakan pelajar yang diminta menanam cabai rawit. Sebab, mereka tidak memiliki benih cabai untuk dibawa anaknya ke sekolah.
Emod (48 tahun), warga Kelurahan Nagri Kaler, mengatakan, kedua anaknya disuruh membawa pohon cabai rawit, Selasa (10/1). Kuantitas pohon cabai disesuaikan dengan kelasnya.
Misalnya, anak pertamanya kelas lima, maka pohon cabai yang dibawa ke sekolahnya lima tangkai. Lalu, yang ditanam di rumah lima tangkai juga. Totalnya 10 tangkai.
"Anak saya dua, yang satu kelas lima, yang satu kelas empat. Jadi, saya harus mencari bibit cabai sebanyak 18 pohon," ujar Emod kepada Republika.
Bagi dirinya yang mengontrak di wilayah perkotaan, mendapatkan bibit cabai secara mendadak sangat susah. Apalagi, kebijakan ini dilakukan secara serentak.
Jadi, seluruh pelajar SD dan SMP membawa bibit cabai untuk ditanam di sekolah dan di rumah. Bibit cabai jadi banyak diburu orang tua murid demi menunjang kebijakan tanam cabai yang digulirkan pemkab.
"Saya sudah mencari ke pedagang-pedagang tanaman, ternyata pada habis diburu orang tua murid. Beruntung ada tetangga yang punya bibit cabai," kata Emod.
Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Purwakarta Rasmita Nunung Sanusi mengakui, kebijakan tanam cabai bagi pelajar SD dan SMP ini sebagai aplikasi dari pembelajaran vokasional. Jadi, setiap Selasa pekan pertama dan terakhir di setiap bulannya, siswa SD dan SMP belajar secara vokasional.
Tujuan diberlakukannya kebijakan ini untuk pembelajaran jangka panjang. Apalagi, saat ini cabai rawit harganya sangat mahal karena minimnya suplai dari petani. "Jadi, untuk mengurangi ketergantungan akan cabai dari pasar, makanya digalakkan penanaman cabai oleh pelajar," kata Rasmita. rep: Mutia Ramadhani, Muhyiddin, Christiyaningsih, Ita Nina Winarsih, Melisa Riska Putri, ed: Muhammad Iqbal