oleh:Stevy Maradona--Saya dan Anda bisa menilai seberapa serius masalah ekonomi di satu negara melalui pernyataan pejabat tingginya. Dalam hal ini, yang patut diperhitungkan adalah komentar-komentar yang keluar dari menteri keuangan, menteri koordinator bidang perekonomian, gubernur bank sentral, dan perwakilan pengusahanya.
Secara sederhana, wartawan yang bekerja di desk ekonomi makro kerap menganalogikan masalah ekonomi ini dengan apa saja pernyataan kubu Lapangan Banteng, kubu Thamrin, kubu Medan Merdeka, dan kubu Kuningan. Lapangan Banteng merujuk pada alamat kantor Kemenkeu dan Kemenko Perekonomian yang persis di dekat Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Kubu Thamrin merujuk pada alamat gedung-gedung pencakar langit milik Bank Indonesia yang berada di ujung poros Thamrin. Sementara, kubu Medan Merdeka berasosiasi dengan Istana Negara maupun Istana Wakil Presiden atau kantor Kementerian BUMN. Terakhir, poros Kuningan adalah untuk kelompok pengusaha Kadin atau Apindo yang memiliki kantor di kawasan Kuningan.
Saya mengajak Anda menyimak pernyataan yang keluar dari kubu Thamrin selama sepekan terakhir. Sejak Senin sampai Jumat, pers mendapat pernyataan yang cukup keras soal utang luar negeri swasta/korporasi dari Bank Indonesia (BI). Gubernur BI Agus Martowardojo bahkan harus menggunakan kata dan kalimat yang cukup tajam perihal utang korporasi di luar negeri ini.
Agus tercatat mengucapkan seperti “BI mengingatkan,” lalu, “Sudah cukup besar,” dan mengekspresikan kekesalannya dalam pernyataan, “Gejolak rupiah selalu menjadi alasan utang luar negeri membengkak.” Frasa “BI mengingatkan” konteksnya adalah peringatan BI kepada BUMN dan korporasi swasta perihal besarnya utang luar negeri swasta saat ini.
BI mencatat, per Maret 2014, total utang luar negeri Indonesia sudah mencapai 276,5 miliar dolar Amerika Serikat (AS). Jumlah ini naik 8,7 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya. Jumlah utang luar negeri sektor publik sebesar 130,5 miliar dolar AS. Sementara, utang luar negeri sektor swasta sudah mencapai 146 miliar dollar AS.
Angka-angka ini berbicara banyak. Pertama, besaran jumlah utang korporasi swasta menunjukkan sudah lebih tinggi dari jumlah utang luar negeri pemerintah. Swasta terlihat sedang jor-joran meminjam untuk membiayai ekspansinya. Kita tentu berharap ekspansi ini bersifat riil, bukan uang dalam bentuk portofolio.
BI memerinci apa saja utang luar negeri swasta itu, yaitu sebesar 26,5 persen ke sektor keuangan, 20,4 persen ke sektor pengolahan, 18,1 persen ke sektor pertambangan, dan penggalian, 11,6 persen ke sektor listrik, gas, dan air besih, terakhir 7,6 persen ke sektor pengangkutan dan komunikasi. Dari kelima sektor ini, sektor pertambangan dan penggalian mencatat pergerakan teraktif.
Kemudian, angka-angka utang di atas juga mengisyaratkan, seperti yang disampaikan bank sentral, bahwa penarikan utang luar negeri masih akan terjadi. Itu meningkatan risiko gagal bayar. Mengapa? Karena korporasi swasta nasional meminjam dalam bentuk dolar AS atau yen Jepang, sedangkan pendapatan usaha mereka dalam bentuk rupiah yang nilai riilnya di bawah kedua mata uang tersebut.
Worst case scenario yang berkembang dari BI adalah, bila gejolak rupiah tak terkendali, katakanlah sampai Rp 16 ribu per dolar AS, jumlah utang swasta yang gagal bayar bisa mencapai 34 persen. Angka ini saja sudah cukup memberi kengerian tersendiri bagi pelaku bisnis dan pemerhati ekonomi nasional. Dalam bahasa dari bank sentral pula, tekanan pada pebisnis diberikan.
Gubernur BI misalnya mengungkapkan kebijakan BI soal lindung nilai (hedging) valuta asing belum diterapkan efektif dan sepenuhnya oleh pebisnis. Masih ada 15 persen dari total utang asing swasta yang belum mendapat lindung nilai. Ini tentu saja bisa berakibat jebolnya kas rupiah negara kalau skenario krisis tadi terjadi. Mengingatkan pada peristiwa krisis ekonomi 1997-1998.
Penekanan dari BI kemudian diteruskan ke pemerintah. Dari bahasa yang digunakan Gubernur BI, dia meminta Menkeu Chatib Basri, yang kebetulan junior Agus di FEUI, serta pemerintah untuk tidak membiarkan perusahaan pengutang tanpa hedging itu semakin banyak. Lagi-lagi publik bisa membacanya sebagai peringatan dari BI untuk pemerintah agar lebih serius bekerja.
Bagaimana kubu Lapangan Banteng bereaksi atas hal ini cukup menarik. Bahkan, kubu Medan Merdeka (Kementerian BUMM) pun membalas pernyataan BI dengan klarifikasi. Menteri BUMN Dahlan Iskan seolah mengatakan tidak ada masalah utang luar negeri di tubuh BUMN. Itu karena dua BUMN terbesar yang menggunakan valuta asing, yaitu Pertamina dan PLN (untuk mengimpor BBM dari luar negeri), ternyata utang valasnya hanya di level tujuh persen.
Badan Kebijakan Fiskal juga pernah mengatakan dan menegaskan soal utang luar negeri asing ini. Menurut BKF, belum ditemukan adanya mismatch maturity (persoalan jatuh tempo utang) dan mismatch currency (persoalan tekanan mata uang) seperti yang disampaikan BI.
Bagaimana kita yang awam bisa menerjemahkan sikap dari Lapangan Banteng dan Thamrin ini? Yang cukup menarik adalah saya melihat seolah ada komunikasi yang mampat antarkedua instansi. Yang satu memperingatkan, tapi yang satunya lagi menafikan. Tentu saja kita bertanya-tanya, bagaimana bisa efektif kebijakan bila tak ada saling dukung di dalam penyelenggara pemerintahan?
Stevy Maradona
email: [email protected]