Sabtu 05 Jul 2014 19:00 WIB
titik putih

Fair Play, Please!

Red: operator

Oleh Israr Itah -- Setelah Luis Suarez, giliran Arjen Robben menjadi buah bibir di Piala Dunia 2014. Bukan karena kecemerlangannya, tapi ulah diving untuk mengantarkan Belanda meraih kemenangan.

Aksi menyelam winger Bayern Muenchen ini di kotak penalti Meksiko membuat wasit asal Portugal Pedro Proenca tanpa ragu memberikan hadiah penalti kepada Belanda. Klass Jan Huntelaar yang menjadi eksekutor menunaikan tugasnya dengan baik dan mengubah skor menjadi 2-1 untuk keunggulan Belanda. Tak ada jalan kembali bagi Meksiko karena waktu sudah memasuki menit akhir injury time .Dapat dibayangkan kekecewaan jutaan rakyat Meksiko menyaksikan tim kesayangannya tersingkir dengan cara menyakitkan.

Insiden di Estadio Castelao, Fortaleza, pekan lalu itu mengingatkan kita akan penyakit yang telah lama hinggap di sepak bola dan sampai sekarang masih sulit mencari penawarnya. Mantan striker tim nasional Inggris Michael Owen bahkan pernah berujar bahwa kebiasaan diving di kotak penalti lawan tidak akan hilang dari sepak bola.

"Ini sulit dipahami kalau Anda tidak pernah bermain bola," ujar Owen seperti dituliskan BBC dua tahun lalu. "Memang tidak ada pemain yang benar-benar 100% ingin diving . Tapi selalu ada keinginan, entah besar atau kecil, dari seorang pemain agar pemain lawan melakukan kontak dan kemudian ia jatuh untuk mendapatkan penalti."

Saya membagi diving di dalam kotak penalti ke dalam dua bentuk. Pertama, mengeksploitasi sentuhan minimalis dengan mimik wajah dan bahasa tubuh yang lebay . Ini dilakukan Fred sehingga Brasil mendapatkan penalti ketika mengalahkan Kroasia 3-1 di penyisihan Grup A. Ini pula yang diperbuat Robben, menjatuhkan diri dengan gaya teatrikal setelah ujung alas kakinya bersentuhan dengan sepatu bek Meksiko Rafal Marquez.

Kedua, menjatuhkan diri tanpa ada sentuhan apa pun. Pemain biasanya memperhitungkan posisi dan sudut pandang wasit serta gerakan lawannya sebelum menjatuhkan diri. Para penyelam ini berjudi, mendapatkan penalti jika beruntung atau kartu kuning dari wasit bila apes.

FIFA sepakat bahwa diving merupakan sebuah pelanggaran. Itu sebabnya pemain yang menurut wasit melakukan simulasi berlebihan untuk mendapatkan penalti diganjar kartu kuning. Namun, dengan berbagai keterbatasan sebagai manusia, penilaian wasit terkadang bukan fakta sebenarnya. Ada pemain yang benar-benar diganjal, namun tidak mendapatkan apa pun. Sebaliknya mereka yang mengelabui kerap mendapatkan hadiah dari akting mereka. "Diving menjadi bagian sepak bola dan berlangsung dengan sangat, sangat cepat. Anda tidak bisa melihatnya dengan mata. Anda akan menyimpulkan bahwa seseorang diving setelah melihat tayangan ulang," kata Owen lagi.

Ucapan Owen ini menegaskan bahwa diving di kotak penalti tidak akan bisa hilang selama masih ada pemain yang menganggap ini wajar dan bagian dari sepak bola. Diving hanya bisa dihapus asalkan FIFA bersikap lebih keras, salah satunya membuat terobosan memutar tayangan ulang seperti di kompetisi basket NBA. Wasit menghentikan laga sementara untuk melihat tayangan ulang dari berbagai sudut sebelum menetapkan keputusan bila ada keraguan. Bila pemain terbukti diving , hukuman berat siap menanti. Kalau begini, para aktor watak lapangan hijau itu pasti akan berpikir dua kali untuk memutuskan menyelam.

Akan tetapi bisa dibayangkan betapa banyak waktu tersita yang digunakan wasit hanya untuk menentukan pemain diving atau tidak. Pastinya ini tak akan terjadi dalam waktu dekat. Sebab, bakal ada kontroversi terlebih dahulu dan perdebatan panjang dalam menetapkan apakah diving sudah masuk elemen krusial penentu hasil akhir. FIFA juga mesti mengkaji aturan dan teknologi yang kira-kira tepat. Mirip-mirip prosedur panjang yang dijalani FFA sebelum memutuskan menerapkan teknologi garis gawang di Piala Dunia 2014 ini.

Kalau sudah begini, semua kembali pada para bintang lapangan hijau. Mereka punya pilihan, menjadi atlet yang menjunjung tinggi sportivitas dan semangat fair play atau selamanya dikenang publik sebagai aktor watak pemuja kemenangan.

Menuliskan kata pemuja kemenangan ini membuat saya teringat pada kondisi politik di Indonesia saat ini. Pemilihan presiden dan wakil presiden yang semakin dekat membuat banyak sosok pemuja kemenangan bermunculan. Mereka menihilkan semangat sportivitas dan fair play . Tanpa malu, mereka berbuat apa saja demi mengantarkan calon yang mereka dukung menjadi pemenang pada pemilihan umum presiden (pilpres) pada 9 Juli ini.

Orang-orang yang tak mendukung siapa-siapa pun dibuat resah. Padahal, tak ada jaminan calon yang mereka dukung bakal menang dengan cara-cara tidak simpatik mereka. Tak ada pula garansi hidup mereka berubah drastis menjadi lebih baik meskipun calon yang mereka dukung memenangkan pilpres. Saran saya, sportif saja. Stop tipu-tipu, kalau tak mau belakangan malu.

Fair play, please!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement