REPUBLIKA.CO.ID,Ram, Kamal, dan Krishna adalah para buruh migran yang mencari penghidupan di Qatar. Mereka datang ke Doha dari wilayah miskin di India, Nepal, dan SriLanka sebagai pekerja bangunan Menara Al Bidda.
Menara Al Bidda merupakan gedung pencakar langit mewah, terdiri atas 43 lantai yang menghadap ke Teluk Persia.
Bangunan itu dijuluki sebagai `menara sepak bola Qatar' karena sejumlah organisasi terkait perhelatan Piala Dunia 2022 bermarkas di lantai 38 dan 39 gedung setinggi 234 meter ini.
Namun, sayang, di balik kemegahan bangunan tersebut, terselip cerita sedih yang mengiringinya. Ram bersama para pekerja lain asal Filipina, Nigeria, Cina, dan Bangladesh bekerja dalam kondisi yang mirip dengan kerja paksa. Mereka bekerja selama setahun tanpa mendapatkan bayaran sebesar enam pound (sekitar Rp 118 ribu) per hari.
Seakan terperangkap, Ram bersama ratusan para pekerja migran lainnya tidak bisa pergi ke luar Doha. Karena sis tem kerja sama di Qatar yang bersifat membatasi, para bu ruh pun tidak bisa ke mana-mana karena pas por mereka ditahan perusahaan yang mengontrak mereka.
Saat malam tiba, Ram yang telah seharian bekerja harus tinggal di sebuah tempat yang jauh dari layak. Ia bersama 32 pekerja lain tinggal dalam satu ruangan yang di dalamnya dipenuhi banyak kecoak dengan kamar mandi yang kotor dan lantai yang penuh dengan lumut.
Setelah mencuci dan memasak, mereka pun menikmati makanan seadanya dan bersiap untuk beranjak ke tempat ti dur. Sebelum memejamkan matanya, Ram memikirkan nasibnya yang telah berubah menjadi korban perbudakan modern demi mimpi Qatar menyelenggarakan Piala Dunia 2022.
Ram mengatakan, ia telah berkunjung ke pengadilan tenaga kerja sebanyak 25 kali. Usaha pria berusia 26 tahun asal Nepal ini seakan sia-sia karena ia tidak mendapatkan uang yang telah menjadi haknya. Setiap kali kembali ke sana be lum juga ada kemajuan. Ram sangat frustrasi.
"Kami berada dalam kesulitan yang sangat besar. Saya ingin mengatakan kepada para pekerja untuk tidak mengulangi kesalahan kami," ujar Ram seperti dilansir Guardian, awal pekan ini.
"Kami tidak peduli dengan banyaknya uang yang dikeluarkan Qatar untuk menyelenggarakan Piala Dunia. Namun, ka mi hanya mengharapkan gaji kami."
Krishna juga merasakan hal yang sama seperti Ram. Pria yang juga berasal dari Nepal ini menyesalkan terkait belum di bayarnya gaji yang seharusnya ia dapatkan setelah bekerja selama lebih dari satu tahun di proyek Al Bidda.
"Saya merasa sangat buruk tentang hal itu. Saya bekerja sangat keras, tapi pada akhirnya saya tidak mendapatkan apa-apa," ujar Krishna.
"Sekarang kami bekerja secara ilegal. Ini sangat berbahaya. Jika kepolisian Qatar datang dan kami tidak memiliki tanda pengenal, mereka akan menempatkan kami ke penjara."
Demi mencukupi kebutuhan hidup selama berada di negeri kaya minyak ini, ia dan beberapa pekerja lain terpaksa harus berutang dan mencari penghasilan tambahan. Sebab, tidak ada bantuan resmi untuk mereka. Amnesty International mengecam perlakuan otoritas Qatar terhadap para pekerja migran yang tengah menyiapkan tempat- tempat untuk menggelar Piala Dunia 2022.
Organisasi ini pun menyerukan pejabat- pejabat Qatar untuk segera me nangani permasalahan pekerja migran tersebut. Disebutkan Amnesty International, kontraktor Qatar, perusahaan Lee Trading and Contracting (LTC), bermasalah dalam pembayaran gaji para pekerja senilai 1,5 juta riyal (Rp 4,8 miliar) un tuk pekerjaan yang selesai pada Oktober tahun lalu. Gaji yang ditunggak bukan hanya terjadi dalam pengerjaan Manara Al Bidda. Sejumlah infrastruktur lain terkait Piala Dunia 2022 juga mempraktikkan hal serupa. (c79, ed: israr itah)