Selasa 12 Aug 2014 13:00 WIB

Yamamoto Tolak Soekarno

Red:

Oleh: Selamat Ginting -- Belum sempat bernapas panjang setelah kembali dari Dalat, Vietnam, tiga tokoh pergerakan; Soekarno, Hatta, dan Radjiman langsung mendapatkan desakan di Tanah Air pada 14 Agustus 1945.

 

Sutan Syahrir mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan, karena menganggap hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang. Apalagi, dia sudah mendengar melalui radio pada 10 Agustus 1945, Jepang akan menyerah kepada Sekutu. Saat Syahrir mendengarkan berita dari radio tersebut, Soekarno, Hatta, dan Radjiman dalam perjalanan menuju Dalat.

 

Timbul pro dan kontra dalam dalam tubuh tokoh pergerakan. Hatta kemudian mencoba menenangkan Syahrir dengan menceritakan hasil pertemuan di Dalat. Sementara, Soekarno belum yakin bahwa Jepang memang telah menyerah.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Foto:wordpress

Proklamasi kemerdekaan RI yang tergesa-gesa, menurut Soekarno, dapat menimbulkan pertumpahan darah yang besar. Bahkan, itu dapat berakibat sangat fatal jika para pejuang Indonesia belum siap.

 

Soekarno kemudian mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan kemerdekaan karena itu adalah hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Namun, Syahrir menganggap PPKI adalah badan buatan Jepang dan proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan hadiah dari Jepang.

 

Apa yang didengar Syahrir ternyata benar. Pada 14 Agustus 1945, Jepang menyerah kepada Sekutu. Saat itu, Soekarno, Hatta, dan Radjiman baru tiba di Tanah Air.

 

Walau Jepang telah menyerah pada Sekutu, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Jepang masih berkuasa di Indonesia. Jepang berjanji akan mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu.

Sutan Sjahrir, Wikana, Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Setelah mendengar desas-desus Jepang bakal bertekuk lutut, golongan muda mendesak golongan tua untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia.

 

Namun, Soekarno-Hatta dkk tidak ingin terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI. Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa kita sendiri, bukan pemberian Jepang.

 

Soekarno dan Hatta mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut kosong.

 

Lalu, Soekarno dan Hatta bersama Soebardjo ke kantor Bukanfu, kantor Laksamana Muda Maeda, di Jalan Medan Merdeka Utara. Sedangkan, rumah Maeda di Jalan Imam Bonjol 1. Maeda menyambut kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat, sambil menjawab ia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu instruksi dari Tokyo.

 

Bung Karno dan Bung Hatta segera mempersiapkan pertemuan PPKI untuk pertemuan pada 16 Agustus di kantor Jalan Pejambon No 2. Tujuannya adalah membicarakan segala sesuatu yang berhubungan dengan persiapan proklamasi kemerdekaan.

 

Namun, Rapat PPKI pada 16 Agustus pukul 10 pagi itu tidak bisa terlaksana. Sebab, ketua dan wakilnya, yakni Soekarno dan Hatta, tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu bahwa telah terjadi peristiwa penculikan terhadap kedua tokoh tersebut yang kemudian disebut dengan Peristiwa Rengasdengklok.

 

Para pemuda rupanya tidak sabar dengan penjelasan Soekarno dan Hatta. Mereka ingin pemimpin Indonesia segera mengambil alih kekuasaan dari para penjajah, sesegera mungkin.

 

Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, terbakar gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka. Mereka tergabung dalam gerakan bawah tanah.

 

Pada dini hari 16 Agustus 1945, mereka bersama Shodanco Singgih, salah seorang anggota PETA, dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia sembilan bulan, dan Hatta ke Rengasdengklok.

 

Tujuannya adalah agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

 

Di Jakarta, golongan muda, Wikana, dan golongan tua, yaitu Meester in de Rechten (sarjana hukum) Ahmad Soebardjo melakukan perundingan. Soebardjo setuju untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jakarta. Maka diutuslah Yusuf Kunto untuk mengantar Ahmad Soebardjo ke Rengasdengklok.

 

Mereka menjemput Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Soebardjo berhasil meyakinkan para pemuda untuk tidak terburu- buru memproklamasikan kemerdekaan. Setelah tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing. Sebab, Hotel Des Indes (sekarang kompleks pertokoan di Harmoni) tidak dapat digunakan untuk pertemuan setelah pukul 10 malam.

 

Tawaran Laksamana Muda Maeda untuk menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai tempat rapat PPKI akhirnya diterima oleh para tokoh Indonesia.

Sindir Bushido

Malam harinya, Soekarno dan Hatta kembali ke Jakarta. Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, kepala staf Tentara Angkatan Darat ke-16 yang menjadi kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia Belanda, tidak mau menerima Soekarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda. 

 

Ia memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, kepala Departemen Urusan Umum Pemerintahan Militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari telah menerima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo Sehingga tidak dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagaimana telah dijanjikan oleh Jenderal Terauchi di Dalat, Vietnam.

 

Soekarno dan Hatta menyesali keputusan itu dan menyindir Nishimura apakah itu sikap seorang perwira yang bersemangat Bushido; ingkar janji agar dikasihani oleh Sekutu.

 

Akhirnya, Soekarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi kerja PPKI. Caranya, dengan pura-pura tidak tahu ada rapat PPKI. Melihat perdebatan yang panas itu, Maeda diam-diam meninggalkan ruangan karena diperingatkan oleh Nishimura agar mematuhi perintah Tokyo.

 

Maeda mengetahui, sebagai perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun), dia tidak punya wewenang memutuskan.

 

Akhirnya, Soekarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat untuk menyiapkan teks proklamasi. Penyusunan teks proklamasi dilakukan oleh Soekarno, Hatta, Achmad Soebardjo, dan disaksikan oleh Sukarni, BM Diah, Sudiro, dan Sayuti Melik.

 

Ada usulan dari Shigetada Nishijima agar pemindahan kekuasaan hanya berarti kekuasaan administratif. Tentang hal ini, Bung Karno menegaskan bahwa pemindahan kekuasaan itu berarti ‘transfer of power’.

 

Setelah konsep selesai disepakati, Sayuti menyalin dan mengetik naskah tersebut menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik Mayor (Laut) Dokter Hermann Kandeler.

 

Pada awalnya, pembacaan proklamasi akan dilakukan di Lapangan Ikada. Namun, dengan alasan keamanan, akhirnya dipindahkan ke kediaman Soekarno di Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi No. 1).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement