Senin 01 Sep 2014 16:00 WIB

Malfungsi Parpol Di Indonesia

Red: operator

Oleh:Nurul S Hamami  -- Sorotan kritis masyarakat terhadap partai politik menyiratkan satu kebutuhan yang sangat mendesak yaitu reformasi internal partai politik.

Sebagaimana telah dikemukakan, partai politik dan masyarakat sipil memainkan peran strategis dalam proses demokratisasi politik di Indonesia selama 16 tahun terakhir. Oleh karenanya, perlu didorong upayaupaya untuk menyinergikan keduanya agar demokrasi substantif dapat terjamin pelaksanaannya. Ironisnya, sudah menjadi sorotan publik bahwa partai politik di Indonesia mengalami kondisi ketidakper cayaan dan tidak terhubung dengan ke pen tingan masyarakat.

Tren menurunnya partisipasi pemilih pada beberapa pemilu di era reformasi dan berubah-ubahnya pemenang pemilu, menunjukkan rendahnya loyalitas atau keterikatan pemilih terhadap partai yang didukungnya. Muncul pertanyaan, apakah partai-partai di Indonesia telah mengalami malfungsi? Pertanyaan ini menjadi salah satu bahasan hari kedua Konfrensi Na sional Ilmu Politik yang diselenggarak an oleh Departemen Ilmu Politik FISIP UI, Depok, Jawa Barat, Selasa (26/8) lalu.

Menurut dosen Ilmu Politik FISIP UI, Sri Budi Eko Wardani, salah satu pembicara di sesi tersebut, pergerakan suara yang diraih tiga besar partai pemenang pemilu, khususnya di Pemilu 2014, menyi ratkan semakin senjangnya hubungan pemilih (masyarakat) dengan partai. Tidak adanya partai yang meraih suara di atas 30 persen seperti pada Pemilu 1999, merupakan peringatan akan semakin “hilangnya” eksistensi partai di tengah masyarakat.

“Sementara jagad politik Indonesia masih sangat didominasi oleh partai politik dalam menentukan kebijakan publik dan rekrutmen jabatan publik,” papar Wardani.

Fenomena tersebut juga bisa dilihat sebagai bentuk hukuman pemilih terhadap performa partai politik dan para politisi partai dalam menjalankan fungsinya. Kasus Partai Demokrat yang perolehan suaranya turun signifikan pada pemilu 2014, dan kemenangan kembali PDI Perjuangan dapat dikatakan sebagai cara masyarakat memberikan hukuman dan penghargaan melalui pemilu.

Reformasi internal partai

Sorotan kritis masyarakat terhadap partai politik tersebut, dalam pandangan Wardani menyiratkan satu kebutuhan yang sangat mendesak yaitu reformasi internal partai politik. Sudah banyak ka lang an yang menyuarakan tentang re for masi internal partai, bahkan upaya melalui perubahan perundangan pun telah dila kukan. Tapi, gagasan konkret menge nai reformasi internal partai belum ber hasil dituangkan dalam perubahan undang-undang.

Wardani melihat hasil enam belas tahun reformasi menempatkan partai politik pada situasi paradoks. Di satu sisi, dalam negara demokrasi partai politik merupakan institusi politik utama dalam arti kulasi dan agregasi kepentingan rakyat. Namun, kiprah partai politik justru men jadi persoalan kunci dalam demokratisasi di Indonesia.

Deretan persoalan itu di antaranya: mekanisme internal yang dikuasai oleh sekelompok elite, rekrutmen kader untuk jabatan-jabatan politik masih didominasi oleh hubungan kekerabatan dan sistem rekrutmen yang transaksional, pragmatisme yang kuat tecermin dalam koalisi politik dan proses legislasi di parlemen, menggejalanya perilaku koruptif elite partai, manajemen internal partai yang lemah dan sentralistik.

“Mencermati deretan persoalan terse but dapat dikatakan salah satu perma sa lah an serius partai politik adalah rendahnya pelembagaan internal partai politik,” jelas Wardani. Pelembagaan partai politik yang dimaksud di sini adalah proses pemantapan partai politik, baik dalam wu jud perilaku yang memola maupun dalam sikap dan budaya sehingga partai menjadi lebih dari sekadar organisasi.

Keengganan partai melakukan pelem bagaan internal secara serius bisa jadi di sebabkan oleh tidak adanya korelasi antara partai yang terlembaga dan pencapaian tujuan utama partai yakni meraih kekuasaan melalui kemenangan dalam pemilu. Partai pemenang pemilu tidak bisa dianggap sebagai partai yang secara institusi paling baik atau terlmbaga. Partai yang secara institusi bermasalah (malfungsi), kata Wardani, bukan tidak mungkin dapat memenangkan pemilu.

Misalnya kemenangan “luar biasa” Partai Demokrat pada Pemilu 2009 bukan disebabkan karena partai tersebut terlembaga secara internal, tapi lebih disebabkan oleh figur SBY. Keberhasilan PDIP dan Golkar yang secara bergantian memimpin peroleh an suara pada beberapa pemilu juga tidak semata-mata ditentukan oleh derajat pelembagaan partai yang mereka capai.

Lewat pengamatan pada empat kali pemilu selama era reformasi, Wardani me nilai fungsi elektoral membebani per for ma partai-partai. Rekrutmen merupakan inti fungsi elektoral di mana partai politik memiliki hak mengisi posisi jabatan pub lik. Sementara itu, gejala malfungsi partai politik dalam fungsi elektoral dapat di deteksi dari hasil rekrutmen/proses nomi nasi tersebut.

Basis keterpilihan caleg harus dikem balikan pada prinsip representasi politik, yakni sebagai upaya menghadirkan kem bali kepentingan rakyat seluas-luasnya di parlemen. “Bukan sebagai perpanjangan tangan elite ekonomi, pejabat politik mau pun petinggi partai politik. Maka, refor masi internal partai, terutama rekrutmen dan kaderisasi, mendesak dilakukan,” ujar Wardani.

Malfungsi rekrutmen politik

Indra J Piliang, ketua Badan Litbang DPP Partai Golkar yang sebelumnya lebih dikenal sebagai aktivis dan pengamat politik, dalam presentasinya menyebutkan fungsi yang paling menonjol dari partai politik adalah rekrutmen politik, yakni untuk mengisi jabatan-jabatan publik. Terdapat dua jenis rekrutmen, yakni dari internal dan eksternal partai.

Mengingat banyaknya kader partai, tentu diperlukan prosedur yang transparan dan terbuka untuk mendapatkan kader terbaik bagi posisi publik yang diperebutkan. Menurut Indra, Partai Golkar sudah memiliki aturan main dalam soal tersebut, yakni peraturan organisasi. Hanya saja aturan main itu tidak selamanya menjadi pedoman dalam menentukan kader terbaik.

“Aturan main tinggal aturan main, faktor like and dislike juga ikut mem beri kan peranan. Belum lagi faktor kedekatan dengan pimpinan partai. Yang lain tentunya faktor keuangan yang dimiliki,” kata Indra. Kader yang baik dan potensial, misalnya, belum tentu diloloskan dalam perebutan jabatan-jabatan publik.

Contoh paling baik bagi Partai Golkar, jelas Indra, adalah pemilukada DKI yang idealnya meloloskan Tantowi Yahya sebagai calon gubernur. Hanya karena Tantowi kurang mampu mendapatkan dukungan dari partai politik lain untuk melengkapi syarat pencalonan, akhirnya Gubernur Sumsel Alex Noerdinlah yang dire komendasikan oleh Golkar. Hal yang sama bisa dilihat ketika dalam Pilpres 2014 Golkar malah mendukung Prabowo Subianto yang notabene dari sisi keanggotaan sudah keluar dari Golkar, dibandingkan dengan M Jusuf Kalla yang masih menjadi anggota Dewan Pertimbangan Partai Golkar.

“Secara pribadi saya berbeda dengan pilihan-pilihan Golkar, baik dalam masalah yang terkait dengan kader internal, maupun untuk memilih kandidat-kandidat yang masuk dalam lembaga-lembaga negara atau komisi-komisi negara,” kata Indra. Menurut Indra, dirinya tidak tahu apakah pilihan-pilihan seperti itu masuk ke dalam rahasia partai atau tidak. Misalnya, dalam melakukan lobi di internal partai menyangkut nama-nama yang didukung oleh KPU, KPK, BPK, dan lainlain.

“Apakah juga diperlukan pengumuman yang bersifat resmi guna memberikan kesempatan kepada publik untuk mengetahui pilihan-pilihan partai? Tidak adakah ruang sama sekali untuk ‘menyem bunyikan’ pilihan-pilihan partai, kecuali untuk voting yang bersifat terbuka? Apakah justru transparansi malah merusak posisi partai atas nama lobi dan negosiasi?” Fungsi partai politik yang lain, menurut Indra, adalah sebagai pengatur konflik.

Ketika konflik terjadi, baik di luar atau pun di dalam partai, mekanisme penyelesaian nya sebenarnya sudah tersedia. “Yang paling lazim adalah dialog demi dialog antara sesama kader. Hanya saja mekanisme seperti itulah yang semakin hilang, akibat politik kian personal dan memiliki banyak saluran untuk bersuara,” katanya.

Fungsi intermediary

Pembicara lain, Kuskridho Ambardi, dosen Fisipol UGM dan direktur eksekutif Lembaga Survei Indonesia, menyoroti perlunya maksimalisasi fungsi intermediary partai politik di Indonesia. Menu rutnya, dalam demokrasi modern yang berskala besar, partai politik adalah kanal utama yang menghubungkan masyarakat dengan negara. Setiap asesmen terhadap keberhasilan dan kegagalan partai politik, karena itu, mestilah dikaitkan dengan fung si utamanya sebagai fungsi inter mediary yang menautkan masyarakat dengan negara atau pemerintahan.

Isu-isu atau fungsi-fungsi yang lain dari partai politik, dalam pandangan Kuskridho, bisa bersifat sekunder dan se baiknya diletakkan untuk memak si malkan fungsi intermediary tersebut. Fungsi rekrutmen politik, komunikasi politik, mobilisasi politik, dan isu demokratisasi internal partai, isu pelembagaan politik dan seterusnya seharusnya diorientasikan pada fungsi pokok tersebut.

Kuskridho menilai, perlahan-lahan partai politik di Indonesia semakin men jauh dari fungsi intermediary dan tam paknya partai politik di Indonesia semakin kehilangan relevansi sosialnya. Namun, bukan berarti isu-isu dan kelompok-ke lom pok sosial menghilang dari wacana politik kebijakan. Yang sedang berlang sung dalam beberapa tahun terakhir adalah proses fragmentasi politik, di mana aktor-aktor politik lain justru menjalankan atau mengambil alih fungsi intermediary yang seharusnya dijalankan oleh partai politik.

“Sejumlah isu yang memiliki relevansi sosial tinggi dan bertaut dengan kepentingan kolektif kelompok sosial buruh dan petani, misalnya, kini jauh lebih banyak diartikulasikan oleh organisasi buruh sendiri atau sekelompok petani yang tidak terorganisasikan secara rapih,” jelas Kuskridho.

Dia kemudian mencontohkan, berbagai organisasi buruh seringkali melakukan negosiasi dengan para asosiasi pengusaha dan manajemen perusahaan secara lang sung. Sementara, partai politik tidak mengajukan opsi-opsi kebijakan yang menangani isu-isu perburuhan secara kom prehensif.

Untuk membikin partai semakin relevan, menurut Kuskridho, fungsi pokok partai politik sebagai lembaga intermediary harus terus dikembangkan dan di perbaiki. Itu artinya, partai politik di Indonesia sebaiknya didorong untuk mem bangun tautan ke belakang dengan kelom pok-kelompok sosial dan kelompok-ke lom pok advokasi publik, serta mem berikan substansi tautan ke depan dalam bentuk opsi-opsi kebijakan yang operasional.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement