Oleh: Rahmat Hadi Sucipto -- Kalau kehidupan petani terus terpuruk, siapa kira-kira yang paling bersalah? Apakah petani? Apakah keluarga petani lainnya? Para pengijon, tengkulak, bandar, pembeli, atau para juragan? Jangan-jangan, pemerintahlah yang paling bertanggung jawab?
Petani identik dengan kehidupan desa. Masyarakat desa yang kebanyakan petani identik dengan kemiskinan. Dengan fakta ini, seharusnya pemerintah lebih fokus membangun perdesaan bagi para petani ketimbang persoalan di perkotaan.
Ibarat orkestra, perdesaan masih membutuhkan konduktor, sementara masyarakat perkotaan sudah lebih mandiri dan mampu memainkan simfoninya. Namun, yang terjadi sebaliknya. Desa diabaikan, petani dipinggirkan, sementara orang-orang kota dimanjakan. Lalu, apa buktinya?
Foto:seno/Antara
Dalam struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) selama bertahun-tahun, tak pernah ada peningkatan yang signifikan untuk mendorong kemampuan petani. Lihatlah pada APBNP 2013 lalu, subsidi untuk menggiatkan roda pertanian di desa justru masih sangat minim dibandingkan untuk sektor-sektor lainnya.
Tercatat subsidi pupuk hanya Rp 16,2 triliun, sementara subsidi benih lebih menderita lagi, hanya Rp 1,5 triliun. Dengan total subsidi mencapai Rp 317,2 triliun pada APBN 2013 tersebut, jelas porsi untuk subsidi pupuk hanya mencapai 5,1 persen, sedangkan benih 0,5 persen saja.
Dilihat dari data APBNP 2013, subsidi pupuk menjadi Rp 17,9 triliun, naik sebesar 27,9 persen dibandingkan anggaran 2012. Meski naiknya lebih dari 1.000 persen, subsidi benih masih sangat kecil pada APBNP 2013 karena hanya Rp 1,5 triliun, sementara anggaran sebelumnya mematok Rp 0,1 triliun.
Memang anggaran subsidi pupuk pada APBNP 2014 meningkat menjadi Rp 21,05 triliun dari APBNP 2013 atau bertambah hingga 29,6 persen. Namun, porsi subsidi pupuk tersebut masih kecil, hanya mencapai 5,2 persen dari total subsidi sebanyak Rp 403,03 triliun pada APBNP 2014. Dengan kata lain, subsidi pupuk hanya meningkat 0,1 persen pada 2014 dibandingkan 2013.
Subsidi pupuk dialokasikan sebesar Rp 35,7 triliun pada APBNP 2015, meningkat Rp 14,65 triliun dari APBNP 2014 atau 69,6 persen. Bila dibandingkan dengan total subsidi pada APBNP 2015 yang mencapai 433,51 persen, porsi subsidi pupuk sebesar 8,2 persen. Dengan demikian, porsinya hanya meningkat 3,0 persen pada tahun anggaran 2015 nanti.
Foto:Koswara/Antara
Kenaikan subsidi pupuk pada RAPBN 2015 tersebut tak sebanding dengan jumlah penambahan subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pemerintah pada tahun depan mengalokasikan subsidi BBM Rp 291,1 triliun atau 67,1 persen dari total subsidi sebesar Rp 433,512 triliun. Dengan demikian, terjadi peningkatan subsidi BBM sampai 6,1 persen pada 2015 dari 2014.
Namun, Panitia Kerja Badan Anggaran (Banggar) DPR hanya menyetujui besaran anggaran subsidi BBM 2015 sebesar Rp 276 triliun. Bila semuanya berjalan lancar, dana subsidi BBM naik 2,6 persen pada 2015 dari tahun sebelumnya.
Bandingkan dengan kenaikan subsidi pupuk yang hanya 3,0 persen. Itu pun dengan angka yang jauh lebih kecil.
Anggaran subsidi bagi petani sangat kecil, tetapi Menteri Pertanian (Mentan) Suswono justru meminta subsidi pupuk agar dihilangkan. Menteri dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini beralasan, banyak pihak yang menyalahgunakan subsidi pupuk tersebut.
Kalau masalahnya ada pihak yang menyalahgunakan pupuk sehingga petani banyak yang tak mendapatkan jatah, mengapa subsidi harus dihapus? Bukankah dalam praktiknya pemerintah harus mengawasi distribusi pupuk agar tepat sampai ke para petani?
Dalam amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, pemerintah harus memberikan segala tindakan agar para petani bisa lebih berdaya. Pada Pasal 3 disebutkan, perlindungan dan pemberdayaan petani bertujuan untuk a) mewujudkan kedaulatan dan kemandirian petani dalam rangka meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kehidupan yang lebih baik; b) menyediakan prasarana dan sarana pertanian yang dibutuhkan dalam mengembangkan usaha tani; c) memberikan kepastian usaha tani; d) melindungi petani dari fluktuasi harga, praktik ekonomi biaya tinggi, dan gagal panen; e) meningkatkan kemampuan dan kapasitas petani serta kelembagaan petani dalam menjalankan usaha tani yang produktif, maju, modern, dan berkelanjutan; dan f) menumbuhkembangkan kelembagaan pembiayaan pertanian yang melayani kepentingan usaha tani.
Kemudian, pada Pasal 4 dinyatakan, lingkup pengaturan, perlindungan, dan pemberdayaan petani meliputi a) perencanaan; b) perlindungan petani; c) pemberdayaan petani; d) pembiayaan dan pendanaan; e) pengawasan; dan f) peran serta masyarakat. Artinya, pemerintah seharusnya melindungi petani dari hulu hingga ke hilir, dari on-farming sampai ke off-farming.
Komentar Mentan soal penghapusan subsidi tentu sangat naif, tak layak sebagai pejabat publik yang paling bertanggung jawab dalam urusan pertanian. Ini ibarat pepatah: "Buruk muka, cermin dibelah". Kementerian tak becus bekerja, tetapi menyalahkan pihak lain.
Agaknya sang menteri lupa dengan peraturan yang sudah dibuatnya sendiri. Dalam Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 122/Permentan/Sr.130/11/2013 tentang Kebutuhan dan Harga Eceran Tertinggi (Het) Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2014, Pasal 1 Ayat 5 menyebutkan: pupuk bersubsidi adalah barang dalam pengawasan yang pengadaan dan penyalurannya mendapat subsidi dari pemerintah untuk kebutuhan kelompok tani dan/atau petani di sektor pertanian.
Bahkan, Mentan juga sejak lama membentuk Tim Pengawas Pupuk Bersubsidi Tingkat Pusat. Tidak hanya itu, dikenal pula Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida (KPPP) yang merupakan wadah koordinasi instansi terkait dalam pengawasan pupuk dan pestisida yang dibentuk oleh gubernur untuk provinsi dan oleh bupati/wali kota untuk kabupaten/kota. Namun, ujung-ujungnya KPPP ini tetap harus melapor ke menteri pertanian. Jadi, penanggung jawab tertinggi menteri pertanian.
Soal pupuk, ada aturan yang lebih tinggi lagi dari menteri, yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 77 Tahun 2005 tentang Penetapan Pupuk Bersubsidi Sebagai Barang Dalam Pengawasan. Kementerian Perdagangan pun terlibat dalam pengaturan dan pengawasannya. Demikian pula, Kementerian Industri dan Kementerian Keuangan. Namun, dalam praktik di lapangan, Kementerian Pertanian sebagai pihak yang paling bertanggung jawab.
Ketidakbecusan kerja Kementerian Pertanian juga sempat mendapat sorotan tajam dari wakil presiden terpilih Jusuf Kalla. "Dulu saya pernah marah. Kantor Kementerian Pertanian Indonesia merupakan yang terbesar di dunia. Tapi, kita juga sebagai pengimpor hasil pangan terbesar. Artinya, kita bertani dalam bentuk birokrasi saja," ungkap JK beberapa hari lalu.
Kinerja buruk Kementan membuat Indonesia belum mencapai kedaulatan pangan. Menurut Jusuf Kalla, untuk memenuhi kebutuhan pangan pokok, seperti beras saja, Indonesia masih mengimpor sekitar dua juta ton per tahun. Belum lagi jagung, ikan, dan daging yang harus impor.
"Selama ini dana ada, tapi kenapa kurang? Karena salah pakai. Dana lebih banyak untuk subsidi BBM," ujar JK menjelaskan.
Subsidi BBM pada 2013 saja sangat tinggi, mencapai Rp 193,8 triliun atau menyedot 61,1 persen dari total subsidi Rp 317,2 triliun. Padahal, subsidi energi masih ada alokasi lain, yaitu untuk listrik sebanyak Rp 80,9 triliun (25,5 persen dari total subsidi). Pada 2014 dan 2015, alokasi subsidi bertambah.
Kenyataannya, pemakai BBM terbanyak adalah masyarakat perkotaan. Merekalah yang memiliki kendaraan bermotor, terutama kendaraan roda empat. "Saya yakin petani tidak banyak pakai subsidi BBM karena kalau untuk masak sudah pakai LPG," kata JK.
Meski demikian, membangun pertanian memang penuh tantangan. JK juga tak yakin merelokasi sentra pertanian dari Jawa ke luar Jawa bisa berjalan dengan baik. Banyak faktor yang akan memengaruhinya, termasuk kualitas sumber daya manusia.
Langkah yang paling memungkinkan, menurut JK, memperbaiki teknologi yang dipakai para petani. Strategi lainnya adalah memperkuat investasi bibit berkualitas, jalan, pengairan/irigasi, serta mesin penggilingan beras yang lebih modern.
Tanpa perbaikan yang memadai di segala lini, pertanian Indonesia akan terpuruk. Padahal, jumlah petani di Tanah Air saja terus berkurang.
Hasil sensus pertanian 2013 menunjukkan, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Indonesia tercatat sebanyak 26,14 juta rumah tangga, menurun 16,32 persen dari hasil sensus pertanian 2003 yang mencapai 31,23 juta rumah tangga. Lalu, jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum hasil sensus 2013 sebanyak 4.165 perusahaan, sementara jenis usaha pertanian lainnya sebanyak 5.922 unit.
Fakta tersebut tentu mengkhawatirkan. Penurunan jumlah rumah tangga usaha pertanian menunjukkan jenis usaha ini sudah tak lagi menjanjikan. Indikasi lainnya, terjadi putus regenerasi pada sektor ini.
Jangankan menciptakan petani-petani baru, mencari tenaga kerja pada sektor ini pun sudah sangat sulit. Tanpa daya tarik yang lebih baik, tanpa perlindungan dari pemerintah, mustahil mimpi swasembada pangan di Indonesia bisa terealisasi.