Partai politik mesti ikut bertanggung jawab dalam munculnya pasangan calon tunggal di beberapa daerah yang melaksanakan pilkada serentak tahun lalu. Sebab, parpol adalah pintu utama persyaratan pendaftaran bakal calon kepala daerah. Merekalah yang seharusnya menyiapkan orang-orang yang akan memimpin di daerah. Sedangkan calon perseorangan/independen terlalu berat untuk berkontestasi lantaran beratnya persyaratan dukungan masyarakat yang harus diperoleh.
Kalau parpol tak mampu meng usung bakal calon kepala daerah – meskipun harus melawan incumbent yang cukup kuat, patut dipertanyakan apa kerja mereka dalam lima tahun terakhir? Apa iya selama lima tahun ini mereka tidak bisa mengamati sisi-sisi kebijakan yang salah atau gagal dari pemerintah kota/kabupaten?
Meskipun dapat dikatakan sebagai sebuah dinamika politik lokal, namun para elite parpol di tingkat pusat juga harus melakukan evaluasi dan introspeksi atas ke mun culan pasangan calon tunggal. Para pemimpin parpol di Jakarta harus menegaskan komitmennya untuk bertanggung jawab terhadap pemenuhan hak politik rakyat dalam memilih kepala daerahnya di ajang pilkada.
Para pemimpin parpol di pusat sudah seharusnya memiliki penga ruh untuk meminta pemimpin-pe mimpin partainya di daerah melakukan komunikasi politik antarparpol dan mengajukan pasangan calon. Ke depannya, DPPDPP parpol tidak boleh tinggal diam. Mereka harus mendorong lahirnya pemimpin-pemimpin daerah melalui kontestasi di pilkada.
Selain mendorong komitmen moral para pemimpin parpol dalam memenuhi hak politik rakyat memilih kepala daerahnya, revisi juga patut diarahkan kepada pembatasan koalisi gabungan parpol sebagai syarat dukungan pencalon an. Dengan ketiadaan pembatasan tersebut, dapat terjadi munculnya satu pasangan calon yang didukung oleh 80 persen kursi gabungan parpol di DPRD.
Kondisi tersebut tentunya akan menutup munculnya pasangan calon yang lain sehingga kian terbuka kehadiran pasangan calon tunggal. Misalnya saja dibatasi hanya sampai 50 persen, agar masih terbuka peluang munculnya dua pasangan calon lagi.
Namun yang juga harus direvisi adalah persentase syarat dukungan pencalonan. Naiknya syarat dukung an calon yang diusung parpol atau gabungan parpol dari 15 persen kursi di DPRD atau 15 persen suara sah hasil pemilu terakhir, menjadi 20 persen kursi di DPRD atau 20 persen suara sah hasil pemilu, ditengarai menjadi salah satu penyebab munculnya calon tunggal.
Syarat dukungan calon perseorangan/ independen juga harus di ubah. Dalam UU Pilkada 2015, sy a rat dukungan calon independen naik 100 persen lebih, yakni dari hanya 3-6,5 persen dukungan dari total jum lah penduduk, menjadi 6,5-10 persen.
Persyaratan baru yang berasal dari putusan Mahkamah Konstitusi yang mewajibkan anggota TNI, PNS, DPR, DPD, dan DPRD mundur dari jabatannya bila maju sebagai calon di pilkada, juga menjadi salah satu faktor sedikitnya calon yang maju. Para anggota Dewan yang merupakan kader-kader terbaik parpol tak mau mengambil risiko kehilang an jabatan jika kalah di pilkada.
Hakikat kontestasi pilkada adalah adanya pilihan lebih dari satu pasangan calon bagi para pemi lih.Tutup setiap celah yang memungkinkan munculnya pasang an calon tunggal. Inilah pekerjaan ru mah bagi pemerintah dan DPR dalam merevisi UU Pilkada menjadi lebih baik. oleh Nurul S Hamami