Perdagangan dan pertumbuhan ekonomi bagai dua sisi mata uang. Keterikatan dan ketergantungan keduanya makin terlihat pada tahuntahun terakhir ini. Ketika kondisi ekonomi global sedang lesu, volume dan nilai perdagangan barang dan jasa pun kurang bergairah. Lesunya perdagangan pun membuat laju pertumbuhan ekonomi menjadi lambat.
Perlambatan ekonomi terjadi di seluruh dunia. Negara berkembang merasakan dam pak pahitnya krisis yang menimpa negaranegara maju. Permintaan barang dari negaranegara maju melemah. Aliran investasi asing yang masuk ke negara emerging market pun merosot.
Sebaliknya, negara-negara maju banyak mengalami deflasi yang menunjukkan kinerja ekonomi mereka lesu. Dampaknya pun menjalar pada sektor keuangan dan moneter mereka. Efek lanjutannya, negara-negara berkembang kesulitan menjaga kinerja perdagangan dan menarik dana dari mereka.
Dengan kondisi seperti itu, Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pun akhirnya merevisi perkiraan volume perdagangan dunia 2016. WTO menurunkan estimasi pertumbuhan volume perdagangan hingga lebih dari 1,0 persen dari sebelumnya sebesar 3,9 persen menjadi 2,8 persen sepanjang tahun ini. Organisasi ini juga mengingatkan semua pihak, perlambatan ekonomi Cina menjadi pemicu utama penurunan nilai perdagangan tersebut, selain terjadi volatilitas pasar dari banyak negara lainnya.
Pada September lalu, WTO memperkira kan angka pertumbuhan perdagangan global bisa naik 3,9 persen. Tapi, hingga tiga bulan pertama 2016 banyak faktor yang tak mendukung prediksi angka pertumbuhan tersebut.
Karena itulah, WTO menurunkannya menjadi 2,8 persen pada tahun ini setelah melihat kondisi di banyak negara. "Perdagang an memang masih menunjukkan pertumbuhan positif meskipun pada tingkat yang mengecewakan," jelas Dirjen WTO Robert Azevedo, seperti dilaporkan Financial Times, beberapa waktu lalu.
WTO mengamati banyak faktor yang terus menekan perdagangan internasional. Lem baga internasional yang berbasis di Jenewa, Swiss, ini menilai harga komoditas internasional juga belum bangkit dari keterpurukan. Hanya sedikit negara yang mulai menunjuk kan kinerja perdagangan positif. Cina menjadi salah satu negara yang belum bisa bangkit dari keterpurukan. Padahal, Cina menjadi sumber market perdagangan terbesar dunia.
WTO sangat mengkhawatirkan gejolak ekonomi Cina. Tidak hanya sektor perdagang an negara tersebut yang lunglai. Pasar keuang annya juga terjerembap. Inilah alasannya Cina bisa menjadi sumber utama krisis perdagang an global, khususnya pada tahun ini.
Dalam jumpa media di kantor WTO, Kamis (7/4) lalu, Azevedo menjelaskan pertumbuhan volume perdagangan global 2016 hanya akan menembus angka 2,8 persen, sama dengan yang dicapai tahun sebelumnya. Dengan kenyataan tersebut, 2016 akan men jadi tahun kelima secara beruntun yang meng alami pertumbuhan di bawah 3,0 persen. Ini tidak pernah terjadi sebelumnya. Pertum buh an rendah hanya pernah dialami pada awal 1980-an. Dengan kata lain, dalam lima tahun terakhir terjadi pertumbuhan volume perdagangan terburuk sejak terakhir kali terjadi pada 1980-an.
Diperkirakan pertumbuhan perdagangan internasional akan tumbuh sebesar 3,6 persen pada 2017. Pemicu kenaikannya terutama berasal dari permintaan barang-barang impor di Asia. Angka ini didasarkan pada pertumbuhan ekonomi dunia sebesar 2,4 persen tahun ini dan 2,7 persen pada 2017.
Negara-negara di Asia diperkirakan akan mencatat pertumbuhan ekspor sebesar 3,4 persen, tercepat dibandingkan kawasan lainnya. Pertumbuhan di Amerika Utara dan Eropa kemungkinan bisa menembus 3,1 persen, sementara Amerika Selatan Tengah dan kawasan lainnya hanya bisa mencatat pertumbuhan sekitar 1,9 persen dan 0,4 persen.
Amerika Utara diperkirakan akan mencatat kenaikan pertumbuhan impor sebesar 4,1 persen tahun ini. Asia dan Eropa menyusul, diperkirakan bakal mencapai angka pertumbuhan 3,2 persen. Impor di Amerika Selatan dan Tengah serta kawasan lain lebih rendah dibandingkan kawasan lain.
Azevedo menjelaskan, volume perdagang an memang masih tumbuh positif, tetapi nilainya turun sebab terpengaruh nilai tukar mata uang asing dan harga komoditas jatuh. "Ini bisa melemahkan pertumbuhan ekonomi yang rapuh di negara-negara berkembang. Masih ada juga ancaman proteksionisme karena banyak pemerintah terus menerapkan pembatasan dan hambatan perdagangan." Banyak ekonom mengamati, dalam bebe rapa tahun terakhir ini terjadi perdagangan internasional yang tak biasa. Mereka menilai ini bagian dari imbas krisis keuangan global pada 2008 lalu.
Biasanya, mayoritas dalam tiga dekade terakhir sebelum lima tahun lalu, perdagangan dunia bisa tumbuh dua kali lipat dari produk domestik bruto (PDB) global. Pertumbuhan ekonomi global bisa cukup signifikan karena ada dorongan yang kuat dari negara-negara berkembang, seperti Cina.
Perdagangan internasional kolaps pada 2009 sebagai imbas dari krisis finansial yang melanda dunia. Kinerja perdagangan sempat bangkit pada 2010. Akan tetapi, sejak itu vo lume perdagangan barang yang dikirim ke se luruh dunia mengalami pertumbuhan me lam bat. Tahun lalu, dampaknya sangat terasa pada nilai total perdagangan yang merosot tajam.
WTO menyebutkan, berdasarkan kalkulasinya, nilai perdagangan dunia pada 2015 dengan nilai mata uang dolar AS yang berlaku saat itu turun 13 persen menjadi 16,5 triliun dolar AS dari 19 triliun dolar AS pada 2014. Kepala ekonom WTO Robert Koopman me nya takan, sejumlah masalah yang menyulit kan perdagangan dunia pada beberapa tahun terakhir terus bersiklus menciptakan rentetan krisis. Permintaan pun merosot pada banyak kawasan di dunia.
Ekonomi Asia, sebagai contoh, mampu berkontribusi menopang perdagangan global sejak krisis 2008. Akan tetapi, tahun lalu eko nomi Cina lesu sehingga sumbangan kawasan ini terhadap perdagangan global pun merosot. Berdasarkan data WTO, permintaan im por di Asia menjadi kunci utama pertumbuhan perdagangan pada periode 2011-2013. Na mun, pada dua tahun terakhir terjadi pergeseran. Permintaan di Amerika Serikat dan Eropa justru yang menjadi pemicu pertumbuhan volume perdagangan hingga saat ini. Permintaan di Asia dan kawasan lain merosot tajam.
Meskipun pertumbuhan perdagangan merosot dan lebih buruk ketimbang era 1980- an, WTO melihat situasi saat ini berbeda de ngan dua hingga tiga dekade lalu. Perdagang an internasional mengalami banyak transformasi. Banyak pelaku saat ini mampu meme nga ruhi dan menciptakan dampak terhadap pertumbuhan perdagangan.
Pada 1980-an, ekonomi negara-negara maju mampu menyumbang hingga 70 persen dari impor global. Akan tetapi, kontribusinya kini merosot menjadi 57 persen. Sementara, permintaan impor dari Brasil, Cina, dan India hanya naik sedikit, kurang dari 3,0 persen hingga 14 persen.
Pada 2013 kontribusi Asia pada volume impor barang dunia mencapai 1,6 persen dari total pertumbuhan sebesar 2,3 persen. Angka ini nyaris tiga perempat dari total pertumbuhan. Lalu, pada 2015 kawasan Asia hanya bisa menyumbang 0,6 persen terhadap total pertumbuhan volume impor barang yang secara keseluruhan meningkat 2,6 persen. Artinya, kontribusi Asia merosot tajam, kurang dari seperempat dari total pertumbuhan impor 2015.
Sementara itu, kawasan Eropa yang mengu rangi permintaan impor dari seluruh dunia sebesar 0,1 persen pada 2013 bisa berkontribusi hingga 1,5 persen dari total pertumbuhan 2,6 persen pada 2015. Dengan kata lain, Eropa mampu menyumbang pertumbuhan volume impor barang kepada dunia sebesar 60 persen dari total volume.
Azevedo menuding proteksi yang diterapkan oleh banyak negara sebagai biang sulitnya pe mu lihan perdagangan global. Namun, Koop man berbeda pandangan dengan Aze vedo. Koopman berpandangan, faktor terbe sar yang membuat perdagangan melambat adalah permintaan stagnan di seluruh dunia dan diperburuk dengan menurunnya investasi global.
Meski banyak ekonom mengamati ekono mi global masih lesu, Koopman justru melihat perlambatan pada sektor perdagangan akan segera berakhir. Banyak yang juga yakin bisnis dan ekonomi global mulai menemukan cara baru beradaptasi dengan krisis ekonomi. Ka rena itu, dia berani memprediksi perdagang an global akan tumbuh lebih kuat lagi dengan rata-rata 1,5 kali dari PDB. Korelasi pertumbuhan perdagangan dan pertumbuhan ekonomi makin terlihat. WTO pun makin mudah memperkirakan angka pertumbuhan perdagangan berdasarkan pertumbuhan ekonomi global.
Devaluasi yuan
Cina terus menjadi tertuduh saat perdagangan dunia melemah. Maklum saja, negara ini memang yang paling besar menguasai volume perdagangan barang dan jasa. Nilai dari hasil perdagangannya dengan para mitra pun terbesar dibandingkan dengan negarane gara lainnya.
Bahkan, Amerika Serikat pun menjadi korban atau tak berdaya menghadapi gempur an barang ekspor dari Cina. Pada 2015, misal nya, AS ternyata mengalami defisit neraca perdagangan sebesar 365,7 miliar dolar AS. Defisit ini terjadi karena nilai ekspor AS ke Cina hanya 116,2 miliar dolar AS, sementara negara adidaya ini mengimpor barang dari Cina hingga bernilai 481,9 miliar dolar AS. Meski surplus dari AS, secara keseluruhan kinerja perdagangan Cina saat ini masih lesu. Ekspor Cina merosot 20 persen pada Februari 2016 dibandingkan periode sama tahun lalu, sementara pada Januari turun 6,6 persen. Padahal, Bloomberg memperkirakan ekspor Cina pada Februari hanya akan menurun 11,3 persen.
Impor Cina merosot 8,0 persen pada Februari 2016 dibandingkan periode sama 2015. Januari Cina justru mengalami penu run an impor lebih besar, mencapai 14,4 per sen. Meski demikian, Cina masih mencatat sur plus meskipun menyusut drastis dari 406,2 miliar yuan pada Februari 2015 menjadi 209,5 miliar yuan (32 miliar dolar AS) pada Februari 2016.
Sepanjang 2015, berdasarkan pemaparan Christopher Balding dari Peking University's HSBC School of Business, seperti dilaporkan Forbes, Cina mencatat defisit neraca perdagangan barang dan jasa sebesar 36 miliar dolar AS. Beberapa analis sempat meragukan data yang dipaparkan Balding. Mengapa? Karena data resmi dari Kementerian Perdagangan Cina menyebutkan kinerja perdagangan negara tersebut masih sehat.
Kementerian Perdagangan Cina melaporkan, negaranya meraih surplus neraca perdagangan barang sebesar 593 miliar dolar AS pada 2015, sementara dari sektor jasa mencatat defisit 137 miliar dolar AS. Secara keseluruhan, Cina masih meraih surplus neraca perdagangan sebesar 456 miliar dolar AS.
Balding tetap membantah data resmi Pemerintah Cina. Dia berani menyimpulkan data tersebut setelah membandingkan data dari Kementerian Perdagangan Cina dengan seluruh data pembayaran yang ternyata sangat berbeda jauh. Dengan metodenya, Balding menyebut surplus perdagangan barang riil Cina hanya 128 miliar dolar AS, bukan 593 miliar dolar AS. Dia yakin defisit dari sektor jasa Cina menembus 165 miliar dolar AS. Karena itulah, Cina menderita defisit neraca perdagangan hingga 37 miliar dolar AS pada 2015 lalu.
Pernyataan Balding bisa jadi benar, tetapi bisa juga tidak. Tapi, Cina memang pernah menjadi negara "Tirai Bambu", negara yang dianggap banyak menutupi informasi dengan negara lainnya.
Yang pasti, Cina sedang menghadapi kelesuan ekonomi. Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi negara ini hanya akan menembus 6,7 persen pada 2016. Bahkan, pada 2017 angka pertumbuhannya bisa lebih rendah lagi, hanya 6,5 persen karena terjadi kelesuan di sektor properti dan manufaktur. Pemerintah Cina yang sudah meluncurkan program 13 tahun ke depan tahun ini menargetkan pertumbuhan PDB sebesar 6,5 persen hingga 7,0 persen. Dengan demikian, kinerja ekonomi 2016 pun tak akan lebih baik dari tahun 2015 yang hanya mampu mencatat pertumbuhan sebesar 6,9 persen.
Demi mempercepat laju ekonominya, Cina kemungkinan besar akan mendevaluasi mata uang yuan (renminbi). Ada beberapa faktor yang memaksa Cina harus mengambil langkah ini. Pertama, strategi ini dipandang penting karena ekonominya sedang melambat. Kedua, pertumbuhan ekspor Cina pada 2015 ternyata negatif dan terus berlanjut hingga dua bulan pertama 2016.
Dengan menurunkan nilai mata uang yuan, Cina berkesempatan meningkatkan ekspornya ke negara-negara lain. Selain itu, hambatan ekonomi domestik pun bisa teratasi. Alasan ketiga, mata uang yuan telah mengalami apresiasi hingga 55 persen dengan mitra dagangnya sejak pertengahan 2005. Karena itu, nilai mata uang yuan dianggap terlalu tinggi sehingga perlu dikoreksi agar bisa lebih kompetitif. Keempat, cadangan devisa negara ini juga menurun.
Pada 2015, ekspor Cina berkontribusi hingga 15 persen dari total nilai ekspor global, naik dari 6,0 persen pada 2004. Ini terjadi sebelum mata uang yuan menguat terhadap mata uang asing lainnya. Indikator lain menunjukkan, surplus transaksi berjalan Cina pada 2015 hampir mencapai 300 miliar dolar AS, terbesar dibandingkan negara lainnya. Cina jelas harus bekerja sangat keras agar bisa kembali meraih kinerja ekonomi yang menggiurkan seperti beberapa tahun sebelumnya. Salah satu strateginya tentu dengan menggenjot ekspor dan mencoba mengerem impor. Bila surplus perdagangan naik, tentu laju pertumbuhan ekonominya juga akan melesat. Oleh Rakhmat Hadi Sucipto