Sabtu 05 Jul 2014 17:00 WIB

ReuniIndonesia-Belanda Lewat Seni Kontemporer

Red: operator

"I don't know what I'm doing, and why I keep doing it."

Kalimat tersebut tertulis di lantai tepat di depan pintu masuk ruang pameran Erasmus Huis, Kedutaan Besar Belanda. "Saya tak tahu apa yang saya laku kan dan entah mengapa saya terus melakukannya." Kalimat yang seolah menggambarkan pera saan para seni man yang karya-karyanya dipamerkan di dalam ruang pameran di balik pintu kaca.

Apakah mereka betul-betul tak tahu apa yang mereka lakukan? Pertanya an ini akan terjawab dalam pameran seni kontemporer bertajuk "Hotwave"yang diselenggarakan sampai 6 Agustus mendatang.

Berjalan melangkahi tulisan "satir" di depan pintu, kita akan langsung masuk ke ruang pamer utama dengan dekorasi minimalis dan dominasi warna khaki. Sebuah instalasi seni berukuran besar segera menyambut setiap pengunjung yang datang. Digantung di langit-langit, instalasi ini mengga bungkan seni lukis dengan seni kertas yang ditempel sa tu sama lain. Dari pintu utama pameran sekilas instalasi ini berupa lukisan raksasa berkepala leak.

Warna merah mencolok seolah menegaskan sosok ini kejam dengan darah meluruh di tubuhnya. Namun, bila kita berjalan mendekati "sosok" leak ini maka pandangan kita akan dimanjakan dengan cuilan gambar-gambar yang disusun seperti puzzle.

Karya instalasi tersebut merupakan karya dari Charlotte Schleiffert, seorang perupa Belanda yang menciptakan gambar dan lukisan serta instalasi mix-media berukuran besar yang ekspresif dan multiwarna.

Karyanya berkaitan dengan intoleransi, kekuasaan, kekerasan, ketidakadilan sosial, juga tentang peran gender dan konflik di antara budaya dan etnis yang berbeda.

Inspirasinya muncul dari berbagai perjalanan melintasi kota dan budaya manusia di dunia. Dalam dua tahun terakhir, ia sangat tertarik dengan topeng tribal, tengkorak binatang, dan figur-figur mitos yang terlihat dalam karya-karya terakhirnya: gambar dan instalasi makhluk hibrida.

Charlotte merupakan satu dari 14 seniman yang karyanya ditampilkan dalam pameran yang diprakarsai oleh Cemeti Art House ini. "Hotwave" sejati nya merupakan sebuah program residensi yang diadakan oleh Cemeti Art House dan Kedutaan Besar Belanda.

Selama tiga bulan, seniman-seniman yang berasal dari Indonesia, Belanda, Australia, dan sejumlah negara di Asia ini dikarantina di Jogjakarta.

Selama itu pula mereka diberikan pendampingan dan ditugaskan untuk membuat karya. "Karya mereka lantas kami buatkan pameran, baik di Yogyakarta maupun di Jakarta," ujar Agni selaku Humas Cemeti Art House.

Dari 14 karya seni yang dipamerkan, tidak semuanya berupa seni instalasi. Seperti karya Esther Kokmeijer, misalnya. Karyanya yang dipajang di sebelah barat ruang pameran ini cukup menarik minat pengunjung lantaran terlihat berbeda.

Bila seniman lain menyajikan seni instalasi, maka dia menampilkan sebuah seni fotografi. Tidak sembarang fotografi, Kokmeijer menangkap gambar-gambar perjalanan sebuah batu.

Terdengar aneh? Ya, Kokmeijer menandai sebuah batu dan sebuah batang pohon, lantas mengikuti perjalanannya dari hulu sungai di lereng Merapi sampai Laut Selatan. Idenya yang terdengar nyeleneh inilah yang kemudian membuatnya dipandang sebagai seniman yang idealis.

Banyak karya Kokmeijer berawal dari perjalanan, di mana perjalanan itu sendiri menjadi bagian penting dari karya tersebut. Berbagai kemungkinan untuk melakukan perjalanan di dunia ini telah menjadi tak terbatas, membuat dunia terasa lebih kecil, tapi pada saat yang sama menjadi lebih besar. Dalam banyak karyanya kontradiksi ini muncul.

Dalam proyek-proyeknya, dia mencari kemungkinan untuk meletakkan nilai intrinsik dari tempat-tempat dan orang-orang di dalamnya. Tak hanya itu, dia juga melihat fenomena yang tampaknya dianggap tidak penting atau terlupakan. "Sesuatu yang tidak ber guna atau tidak masuk akal dapat membuktikan memiliki makna besar," ujar Kokmeijer seperti dikutip Cemeti Art House.

Di sudut ruang pamer, terlihat sekelompok mahasiswi yang terkikikkikik melihat sebuah seni instalasi. "Ini kokjadi seperti stand up comedy, ya?" ujar salah satu mahasiswi sambil tertawa.

Instalasi seni berupa footagedrama yang direkam secara spontan itu merupakan karya Agnes Christina, seniman Indonesia lulusan Singapura. Karyakarya Agnes Christina kebanyakan meng gambarkan momentum kekacauan dalam hidup dan membahas mekanisme manusia dalam mengatasi kekacauan.

Sementara kekacauan sering kali diasosiasikan dengan gerak cepat dan jantung yang berdebar kencang, Agnes memilih untuk menggunakan gerakan yang sangat lambat dalam pertunju kannya, dengan momentum senyap yang menghisap perhatian penonton. "Agnes juga berkolaborasi dengan disiplin seni lain seperti film pendek, video, boneka, dan lukis, demi menampilkan berbagai lapis dimensi dan penyajian visual yang rapi dalam pertunjukkannya," seperti dikutip dalam blog Cemeti Art House.

Seniman Indonesia lain yang turut tampil adalah Restu Ratnaningtyas. Wanita muda yang menetap di Yogyakarta ini menampilkan sebuah karya berjudul "connection". Sebuah instalasi yang menggabungkan antara seni lukis dengan seni potong kertas. Terlihat sesosok manusia ber celana batik dan berkaos oblong yang sedang memegangi kabel yang melilitnya.

Belum cukup, Restu menggambarkan sosok itu tak berkepala. Alih alih kepala, hanya terlihat sejumlah telapak ta ngan yang membelit bagian atas tubuhnya. Cukup abstrak bukan? Ketika dihubungi via telepon, Restu sem pat bercerita, "Saya sendiri kalau ditanya apa maksud karya saya, malah bingung mau jawab apa. Biarlah tiap orang yang melihat punya pandangan sendiri-sendiri. Entah apakah ada pesan khusus yang ingin saya sampaikan. Semuanya berjalan begitu saja, ketika tiga bulan saya menggarap proyek itu,"

jelas Restu.

Penjelasan Restu mungkin sedikit me wakili kalimat "satir" di depan pintu tadi. Bahkan, para seniman merasakan pergulatan batin ketika menggarap karya mereka. Terkadang mereka tak punya alasan akan apa yang mereka lakukan. Hanya dahaga untuk berkarya saja yang menjaga mereka tetap melahirkan instalasi seni yang menakjubkan. Pameran Hotwave me wakili perasaan seniman kontemporer lain yang berkarya di Indonesia. "I don't know what I'm doing, and why I keep doing it." rep:c85  ed:dewi mardiani

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement