Sejak berabad-abad silam, peradaban manusia di bumi mengenal seni gambar kartun. Dari sebuah gua di Lascaux, Spanyol Utara, manusia modern disentil akan fakta bahwa 200 ribu tahun silam ada generasi yang menggambar detail makhluk berkaki delapan di dinding gua. Mereka ingin mengabadikan gambar yang didapatkan saat berburu atau berjalan dari suatu tempat.
Di Mesir, 4.000 tahun yang lampau, masyarakatnya menggambar sekelompok pegulat yang sedang bertarung di dinding kuil. Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Kita boleh berbangga karena memiliki warisan serupa dengan nilai historis yang ternilai. Bermula dari Gua Leang-Leang di Sulawesi, beberapa gua di Kalimantan Timur, dan masih banyak gua perawan di tanah Papua, seni kartun meluas di Indonesia hingga sekarang.
Di Jawa sendiri, kita tak boleh lupa akan seni menghidupkan bayangan, wayang kulit. Dalam pembuatannya, sang seniman harus menggambar sketsa tokoh di atas lembaran kulit kering.
Dari sosok imajinatif menjadi tokoh-tokoh pewayangan, itulah konsep dasar dari seni kartun. Ide untuk ‘mengabadikan’ kejadian dan tokoh-tokoh ke dalam bentuk visual inilah yang kemudian menjadi pioner dalam seni kartun dunia dan di Indonesia tentunya.
Dalam perkembangannya, seni kartun terpecah menjadi tiga jenis: editorial, gag cartoon, dan setrip komik. Kartun editorial adalah seni untuk menyatakan pendapat dan sindiran politik melalui gambar. Sang seniman bebas menyatakan idenya untuk mengkritik secara santun melalui seni yang luhur.
Itulah yang dilakukan kartunis senior Indonesia melalui pamerannya di Bentara Budaya Jakarta (BBJ) dengan mengusung judul "Serangan Fajar Kartun Politik". Jitet Koestana dan empat seniman lainnya menggambarkan realitas sosial yang ada saat ini ke dalam seni visual. Tidak menggurui, namun hanya menyampaikan pesan.
Kedua adalah gag cartoon yang bertujuan untuk melucu. Jenis ketiga adalah komik setrip yang berisikan lembaran komik yang sering kita jumpai.
Untuk kartun editorial, perkembangannya di Indonesia sangat pesat. Indonesia dengan segala dinamika politik, dari Orde Lama, Orde Baru, hingga Reformasi, menggugah para seniman kartun untuk mencecar penguasa lewat seni. Sejumlah kartunis lahir di negara ini dan memiliki karya-karya besar.
Kartun sebagai media kontrol pemerintah kini tak sekadar coretan gambar di koran dan media elektronik. Di tangan seorang Garin Nugroho, dengan menggandeng lima kartunis senior Indonesia, lahirlah sebuah pameran kartun yang tak kurang glamor. Di BBJ, mereka seolah ingin menunjukkan kelas yang sebenarnya dari sebuah seni kartun.
Ini adalah sebuah metamorfosis dari sebuah budaya. Dari dinding gua, kini orang menikmatinya di galeri seni. Dengan kartun, segala wacana dan pendapat bisa tersalurkan, termasuk fenomena sosial di negara ini. Karya-karya tersebut cerminan bagi para penggawa negeri untuk memperbaiki keadaan dan mempersiapkan negeri dalam menyongsong masa depan yang cerah. rep:c85 ed: dewi mardiani