Beberapa penonton tampak membetulkan posisi duduknya. Seorang kamerawan di barisan terdepan sibuk mengatur posisi tripod agar stabil. Satu-dua orang keluar-masuk ruang pertunjukan, mungkin kedinginan lantaran pengatur suhu yang kencang meniupkan embun imitasi.
Sesaat kemudian, lampu ruang pertunjukan Galeri Indonesia Kaya dimatikan. Menyisakan sorot lampu yang jatuh tepat di panggung. Tampak enam orang pemain musik lengkap dengan instrumen mereka masing-masing: kendang, rebana, gitar, gitar bas, kecapi, dan keyboard.
Seorang vokalis berdiri di tengah mereka, berpenampilan nyentrik dengan gamis hitam dan serban hitam melingkari kepalanya. Sebuah tulisan tiba-tiba saja muncul di layar belakang panggung, "Cinta Itu Luka, Rindu Itu Perihnya" begitu bunyinya.
Bunyi kecapi kemudian terdengar. Sang pemetik kecapi lalu menyanyikan sebuah syair Sunda. Cengkok Sundanya melengkapi kesyahduan musik kecapi. Penonton tampak larut dengan lengking kecapi yang menggema di ruangan pertunjukan.
Lepas permainan kecapi, sang vokalis utama mengambil alih. Tulisan di layar telah berganti, "Semakin Cinta Disangkal, Semakin Rindu Pun Kekal". Pria beserban hitam itu lantas melantunkan sebuah kidung. Musik mulai bergemuruh, seluruh instrumen ikut bermain, tak terkecuali kecapi.
Di awal musik, empat orang bergamis dan bertopi maulawi, khas Turki, memasuki ruangan. Lantas mereka memberi hormat dan perlahan mulai berputar. Sebuah tarian sufi ternyata yang disuguhkan. Putarannya seiring dengan irama lagu. Lirik lagu mengungkapkan kerinduan seorang hamba akan Tuhannya.
Dua penampilan di atas adalah pembukaan dari sebuah pertunjukan musik bernuansa Islami, akhir pekan lalu. Tema ini sengaja diusung oleh penyelenggara, Galeri Indonesia Kaya, dengan turut mengundang Candra Malik (sang penyanyi beserban hitam) dan juga Sujiwo Tejo.
Kolaborasi dua seniman ini dibalut dalam sebuah pertunjukan bertajuk "Bulan Suci" yang merupakan akronim dari "Bunga Cinta Perjalanan Sufi Cinta". Penampilan mereka juga turut diiringi oleh pemusik dari Minladunka Band dan tentu yang menarik adalah adanya tarian sufi.
Candra Malik yang pada pertunjukan itu berkostum serbahitam, mengaku musik-musik religi yang dia bawakan merupakan hasil dari perjalanannya berkeliling daerah dan pesantren dua tahun terakhir ini. Dia sengaja menghadirkan para penari sufi dari berbagai latar belakang untuk memberikan pandangan mengenai bagaimana sufi hidup dan berbaur dalam keseharian masyarakat.
"Sufi dalam pertunjukan ini merupakan cara untuk memurnikan jiwa dan jiwa serta mendekatkan diri kepada Tuhan," ujar Chandra dalam jeda antarlagu yang dia bawakan.
Sujiwo Tejo tampil setelah Candra. Dia membawakan lima lagu religi besutannya. Sujiwo yang berpenampilan nyentrik dengan topi koboi serta sarung pantai dan jas hitam, membuka penampilannya dengan sebuah kalimat, "Pendidikan agama di negeri kita hanya mengedepankan fikih dan syariat. Kurang mengedepankan ketasawufan."
Lalu, empat penari sufi maju kembali, bersiap memutar tubuhnya. Sujiwo Tejo menampilkan beberapa musik dengan syair ciptaannya sendiri. Musiknya khas irama "macapat" Jawa dengan liukan suara khas seorang sinden.
Lantas, mengapa pesan-pesan keagamaan dibawakan melalui lagu dan tarian sufi? Candra, sang aktor utama, sempat menjelaskan bahwa musik dan tari adalah penyampai pesan yang baik. "Melalui musik dan tari yang ditampilkan, penonton dapat larut dalam dimensi rohani yang mampu mencerahkan kehidupan spiritual. Semoga pertunjukan ini dapat mendekatkan masyarakat akan pentingnya arti kehidupan melalui sufi," ujarnya.
Selain musik, gelaran ini di Grand Indonesia ini juga menyajikan ilustrasi visual karya Asthie Wendra yang sebelumnya telah mengelola dua konser besar Candra, yaitu di Bandung (2012) dan Ramadhan (2013) bersama Iwan Fals.
Bersama Minladunka Band, Candra membawakan lagu-lagu religi, seperti "Seluruh Nafas", "Fatwa Rindu", "Allahu Ahad", "Hasbunallah", dan "Syahadat Cinta" karya Candra Malik dan sebuah lagu bertajuk "Ingsun" karya Sujiwo Tejo. Lagu-lagu religi ini dimainkan dalam instrumental musik yang dikembangkan oleh Edo Suanda.
Di akhir pertunjukan, Sujiwo Tejo sempat memaparkan keterlibatannya dalam pentas kali ini. Dia merasa terpanggil untuk menyampaikan pesan toleransi dan keberagaman di Indonesia. "Bagi saya mencampurkan budaya, proses kreatif, dan religiositas para seniman sufi ini seperti mengajarkan bagaimana manusia mencintai dan merawat kehidupannya tanpa menilai latar belakangnya yang berbeda-beda," ujar Sujiwo Tejo. rep:c85 ed: dewi mardiani