Sampai 1949, sebelum Mao Zedong menguasai daratan Cina, warga Cina di Indonesia terbelah dua. Masing-masing, pro-Kunchantang (Komunis) dan Koumintang (Taiwan). Perbedaan itu kentara sekali sampai 1950-an.
Waktu itu, masih ada warga Cina yang memasang bendera Republik Rakyat (RR) Cina pada hari raya resmi, tapi tidak kurang yang memasang bendera Taiwan sebagai tanda pro-Chiang Kaisek.
Di rumah-rumah warga keturunan Cina, terlihat jelas adanya perbedaan ini. Seperti, ada rumah yang memasang gambar Mao Zedong sebagai tanda pro-RR Cina. Tapi, ada juga yang di ruang tamunya terdapat gambar Chiang Kaisek yang saat itu menjadi Presiden Taiwan (Formosa) setelah diusir dari daratan Cina oleh Partai Komunis.
Waktu itu, ada dua surat kabar Cina yang haluan dan beritanya saling bertentangan. Yakni, Keng Po dan Sin Po. Kedua koran berbahasa Indonesia ini memiliki pembaca cukup besar, tidak kalah dengan dua koran Indonesia kala itu: Harian Pedoman dan Harian Indonesia Raya.
Koran Sin Po didirikan di Jakarta pada 1910, awalnya seperti juga pesaingnya Keng Po didirikan untuk orang Cina di Indonesia dan banyak menyiarkan berita dari daratan Cina.
Menurut almarhum H Subagio IN dalam "Jagad Wartawan Indonesia", Sin Po pernah mengalami kemunduran dengan terbitnya Keng Po yang lebih moderat. Koran yang pemimpin redaksinya Inyo Beng Goat membekali pembacanya menjadi warga negara Indonesia dan bukan warga daratan Cina.
Pendiriannya tegas, yaitu: di Indonesia dia dilahirkan, di Indonesia dia mencari nafkah, dan di Indonesia dia akan dikuburkan. Saya sendiri merasakan bagaimana pertentangan kedua kelompok yang berbeda keyakinan ini. Terlihat nyata dalam pembicaraan antara kedua kelompok ini.
Sedangkan, Sin Po pemimpin redaksinya kala itu adalah Kwee Kek Beng. Yang menarik, surat kabar ini punya kekhasan khusus dalam karikaturnya yang berjudul "si Put’on" yang cukup banyak penggemarnya.
Kalau Sin Po merupakan koran kelompok kiri, Keng Po lebih dekat dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) Sutan Syahrir. Ini terlihat nyata ketika Pemilu pertama 1955, Keng Po bersama Pedoman dan Indonesia Raya menjagokan PSI. Sedangkan, Sin Po bersama Suluh Indonesia dan Bintang Timur lebih dekat dengan kelompok kiri.
Namun, yang jelas sejak 1940-an dua surat kabar ini saling bersaing ketat. Bukan saja dalam pemberitaan, melainkan juga membawakan aspirasi politiknya. Yang jelas, kedua surat kabar ini tidak lagi hanya memiliki pembaca keturunan Cina, tapi justru lebih banyak warga pribumi karena berita-beritanya cukup menarik.
Selain kedua surat kabar itu, di Jakarta juga terdapat majalah mingguan Star Weekly dengan pemimpin redaksinya PK Oyong yang kemudian bersama Jacob Oetama menerbitkan Harian Kompas.
Sebelum pecahnya Gerakan PKI 30 September (G30S/PKI), di Jakarta terdapat tiga koran berbahasa Cina: Obor, Garuda, dan Bintang. Karena Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi Cina yang diketuai Siauw Giok Tjan dituduh terlibat G30S/PKI, pemerintah Orde Baru (Orba) memberangus ketiga koran ini.
Sementara, Sin Po yang sejak 1960 berganti nama menjadi Warta Bhakti, dan dipimpin Karim DP yang sekaligus ketua umum PWI Pusat, ikut diberangus. Koran berhaluan kiri ini bahkan ikut menyiarkan "Dewan Revolusi" G30S/PKI.
Sedangkan, Keng Po sebelumnya juga telah diberangus, yakni ketika masa Presiden Soekarno. Bung Karno juga telah membubarkan PSI dan Masyumi dengan surat kabarnya Harian Abadi.
Khusus koran yang berbahasa Cina, ketika Obor, Garuda, dan Bintang dilarang terbit Pengusasa Perang Daerah (Peperada) Jakarta Raya setelah G30S/PKI, barulah diketahui berapa banyak masyarakat Cina di Jakarta yang sama sekali tidak lancar, bahkan tidak pandai berbahasa Indonesia. Mereka masih menggunakan bahasa Cina sebagai alat komunikasi. Maka, terbitlah kala itu Harian Indonesia, satu-satunya koran berbahasa Cina. rep:alwi shahab ed: dewi mardiani