Republika/Prayogi
JAKARTA -- Kepala Biro Hukum Pemprov DKI Jakarta Yayan Suhana mengatakan, instansinya tidak berkaitan dengan kemenangan gugatan warga Bukit Duri di pengadilan tata usaha negara (PTUN). Majelis hakim PTUN mengabulkan gugatan warga Bukit Duri atas penggusuran permukiman di bantaran Sungai Ciliwung yang dilakukan Pemprov DKI, Pemkot Jakarta Selatan, dan satpol PP.
Menurut Yayan, pihak yang digugat warga sebenarnya adalah Wali Kota Jakarta Selatan (Jaksel) Tri Kurniadi. Karena itu, Pemprov DKI tidak bersikap dengan kekalahan gugatan tersebut. "Jadi Pak Wali Kota yang tergugat. Kalau Biro Hukum tidak nanganin, artinya bukan Pak Gubernur. Jadi tidak ditangani Biro Hukum. Yang nanganin bagian hukum Jakarta Selatan karena objek hukumnya surat keputusan Wali Kota (Tri Kurniadi)," ujar Yayan, di Balai Kota DKI, Senin (9/1).
Yayan sebelumnya juga mengaku belum membaca lagi isi putusan PTUN terkait pembatalan SP penggusuran yang dilayangkan Satpol PP Jakarta Selatan kepada warga Bukit Duri. Namun, ia memastikan, instansinya berkomunikasi dengan tim kuasa hukum dari Pemkot Jakarta Selatan untuk membahas persoalan tersebut.
"Kami akan mempelajari apa saja yang menjadi pertimbangan majelis hakim PTUN dalam mengabulkan permohonan warga Bukit Duri. Selanjutnya, kami berkoordinasi dengan tim kuasa hukum Pemkot Jakarta Selatan untuk memberikan saran atau supervisi yang dibutuhkan," kata Yayan.
Wali Kota Jaksel Tri Kurniadi membantah kalau penggusuran di Bukit Duri menyalahi aturan. Menurut dia, Pemkot Jaksel sudah menaati semua prosedur hukum dalam proses relokasi permukiman warga di Bukit Duri. Pemkot juga sudah melayangkan surat peringatan (SP) 1, 2, dan 2. Karena itu, pihaknya bakal mendaftarkan gugatan di tingkat banding. "Kalau kita, sudah sesuai prosedur. Pokoknya, ya, kita banding sekarang. Sudah, gitu saja," ujar Tri.
Pada September 2016, Pemprov DKI menggusur paksa warga Bukit Duri, Tebet, Jakarta Selatan. Gubernur DKI yang ketika itu dijabat Basuki T Purnama (Ahok) selalu berdalih penggusuran tersebut untuk kepentingan normalisasi Sungai Ciliwung. Sebelum menggusur Bukit Duri, Pemprov DKI melalui Satpol PP Jakarta Selatan sempat menerbitkan SP kepada warga setempat sebanyak tiga kali.
SP-1 bernomor 1779/-1.758.2 terbit pada 30 Agustus 2016, selanjutnya SP-2 bernomor 1837/-1.758.2 pada 7 September 2016, dan SP-3 bernomor 1916/-1.758.2 pada 20 September 2016. Mendapat tiga SP tersebut, warga Bukit Duri pun protes. Mereka lalu menggugat penerbitan SP itu ke PTUN Jakarta.
Kamis (5/1) kemarin, PTUN Jakarta akhirnya memenangkan gugatan warga Bukit Duri terkait surat peringatan (SP) penggusuran yang dikeluarkan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Jakarta Selatan beberapa bulan lalu. Dalam putusan yang dibacakan majelis hakim, PTUN menyatakan membatalkan SP tersebut karena dinilai tidak sah dan melanggar hukum.
"Terhadap objek sengketa objek sengketa (SP-1, SP-2, dan SP-3—Red), majelis menyatakan telah melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku," kata Majelis PTUN Jakarta yang dipimpin Hakim Baiq Yuliani saat membacakan putusan, pekan kemarin.
Selain membatalkan tiga SP yang diterbitkan Satpol PP Jakarta Selatan, majelis hakim PTUN juga mengakui hak kepemilikan warga Bukit Duri atas tanah yang dirampas oleh Pemprov DKI beberapa bulan lalu. Dalam pertimbangan hukumnya, majelis mengatakan tanah yang digunakan pemerintah pusat dan Pemprov DKI serta Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane (BBWSCC) adalah tanah milik warga Bukit Duri yang telah dimiliki secara turun-temurun.
"Majelis berpendapat, kepemilikan tanah-tanah warga Bukit Duri sudah sesuai dengan UU Nomor 2 Tahun 2012 juncto Perpres Nomor 71 Tahun 2012," kata hakim.
Kuasa hukum warga Bukit Duri, Vera Wheni Soemarwi, mengatakan, pemerintah telah melancarkan serangkaian teror, intimidasi, dan stigmatisasi terhadap warga Bukit Duri dengan melabeli warga sebagai penghuni liar yang menduduki tanah negara dan penyebab banjir. Warga juga harus menerima stigmatisasi negatif yang dialamatkan kepada mereka.
Tak cukup sampai di situ, rangkaian teror Pemkot Jakarta Selatan dan gubernur DKI yang saat itu dijabat Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diikuti kebijakan mereka menggusur rumah-rumah dan tanah warga Bukit Duri dengan menerbitkan sejumlah SP. "Warga menggugat ke PTUN karena kebanyakan dari mereka telah tinggal di Bukit Duri sejak sebelum Indonesia merdeka," ungkap Vera. rep: Noer Qomariah Kusumawardhani, Ahmad Islamy Jamil, ed: Erik Purnama Putra