REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Fenomena dicaploknya sejumlah kader partai politik (Parpol) dinilai mulai terasa saat Dede Yusuf pindah dari PAN ke Partai Demokrat (PD). “Banyak politisi yang merasa semua parpol sama sehingga jika pindah pun tak ada beban bagi mereka,” katanya pengamat politik dari UGM, Arie Sujito saat dihubungi, (20/4).
Menurutnya, ada dua faktor yang menyebabkan fenomena ini menyeruak. Pertama, kecenderungan electoral threshold dan parlementary threshold yang kemungkinan meningkat pada pemilu mendatang. Akibatnya, partai kecil dan menegah menjadi termarginalkan.
“Banyak politisi yang popularitasnya melebihi partainya memilih pindah. Karena mereka tidak mau gambling untuk memenangkan pemilu mendatang,” kata pengamat politik UGM, Arie Sujito saat dihubungi, Rabu (20/4).
Kedua, faktor kecenderungan pragmatis baik dari individu maupun parpol tertentu. Hal ini disebabkan, parpol tidak banyak memberikan kegiatan yang sifatnya ideologis. Artinya, ikatan ideologis ataupun sejarah antara kader dan parpol menjadi kropos.
Maka, jika ingin kadernya ‘awet’, ia menyarankan parpol harus bisa membangun ideology, bukan sekadar pragmatism. Sehingga ada jarak dan identitas yang jelas antara satu parpol dengan lainnya. Yang terjadi saat ini, kader parpol hanya bersikap pragmatis. “Yang penting menang dan berkuasa,” katanya.
Sementara dikaitkan dengan etika politik dalam persoalan politisi kutu loncat ini, ia pesimis jika hal itu diterapkan parpol. “Kalau persoalan etika politik, saya kita sebagian besar partai politik tidak selalu berpikir itu,” katanya.