REPUBLIKA.CO.ID, SANA'A - Setidaknya dua puluh orang tewas dan 150 lainnya terluka ketika pasukan Yaman memasuki Lapangan Merdeka di Taiz, Senin (30/5). Pasukan pemerintah juga menggunakan buldozer untuk membarikade lapangan tersebut.
Pasukan keamanan Yaman meluncurkan serangan penumpasan terhadap demonstran anti-rezim di selatan kota Taiz. Ribuan demonstran mendirikan tenda di lapangan, menuntut pengunduran diri Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh.
Menurut kantor berita Reuters, polisi menembakkan peluru tajam, gas air mata dan menggunakan meriam air untuk membubarkan lebih dari 3.000 demonstran yang melakukan protes di luar sebuah gedung kota dekat Lapangan Merdeka. Para pemrotes menuntut pembebasan seorang rekan mereka yang ditangkap pada Sabtu (28/5) lalu.
Polisi juga mendirikan dua tenda untuk melakukan serangan di lapangan tersebut. Akibatnya, pengunjuk rasa melemparkan bom Molotov dan batu ke arah mereka.
Menurut seorang pejabat keamanan, empat tentara Yaman tewas dan puluhan lainnya terluka dalam penyergapan terhadap warga yang tengah melakukan perjalanan ke kota Zinjibar yang dikuasai Al-Qaidah.
Di ibukota Sana'a, tujuh ledakan terdengar pada Ahad (29/5) malam di distrik Hasaba, tempat pertempuran antara pasukan Presiden Saleh dan suku pemberontak yang telah berlangsung selama sepekan. "Sekitar 115 orang tewas," warga kata.
Tidak ada rincian lebih lanjut tentang ledakan tersebut, yang tampaknya melanggar gencatan senjata antara pasukan Saleh dan suku Hashed yang dipimpin oleh Sadeq Al-Ahmar. Pertempuran antara pasukan pemerintah dengan salah satu suku terkuat itu termasuk yang paling mematikan sejak kerusuhan meletus pada Januari silam.
Ahmar mengutuk apa yang ia sebut sebagai "pembantaian baru" Saleh terhadap warga sipil di Taiz. Sehari sebelumnya, anak buah Ahmar menyerahkan kembali kendali gedung pemerintah kepada para mediator sebagai bagian dari kesepakatan gencatan senjata.
Meskipun kekuatan global dan regional memintanya agar mengundurkan diri, namun Presiden Saleh menolak. Ia juga tak mau menandatangani perjanjian yang dimediasi oleh Negara-Negara Teluk, untuk memulai sebuah transisi kekuasaan yang bertujuan mencegah perang saudara yang dapat mengguncang kawasan pemasok minyak dunia tersebut.