REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI - Pemimpin Libya Muammar Qaddafi menegaskan dirinya tidak akan mengundurkan diri, meskipun menghadapi gelombang protes selama berbulan-bulan, dan diperingatkan PBB—pada Selasa (31/5)—bahwa negerinya kehabisan bahan makanan.
"Qaddafi ngotot tidak akan meninggalkan Libya," kata Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma, usai bertemu dan mengadakan pembicaraan dengan penguasa Libya yang telah bercokol puluhan tahun itu.
Zuma tiba di Tripoli, Senin (30/5), dalam upaya mencoba menghidupkan kembali "roadmap" Afrika untuk mengakhiri konflik yang dimulai sejak Februari lalu. Pemberontakan rakyat terhadap Qaddafi berubah menjadi perang saudara yang telah menewaskan ribuan orang.
Pemberontak Libya dan NATO telah mengatur rencana kepergian Qaddafi sebagai syarat utama gencatan senjata. Dengan penolakan Qaddafi ini, pembicaraan dengan Zuma tidak menghasilkan sesuatu yang berarti.
Namun pertanyaan baru menyeruak, selama berapa lamakah Qaddafi mampu bertahan setelah pejabat senior PBB mengatakan bahwa kekurangan makanan dan obat-obatan di wilayah-wilayah yang dikontrol Qaddafi, tak ubahnya "bom waktu."
Panos Moumtzis, koordinator bantuan kemanusiaan PBB untuk Libya, menegaskan bahwa stok makanan di daerah-daerah yang dikendalikan Qaddafi akan habis hanya dalam beberapa pekan. "
Saya tidak mengatakan ada kelaparan atau kekurangan gizi. Namun semakin lama konflik berlangsung, semakin banyak pula persediaan makanan yang habis. Dan itu terjadi hanya beberapa pekan sebelum negeri ini mencapai situasi kritis," kata Moumtzis.
Makanan dan obat-obatan, kata Moumtzis, ibarat bom waktu. Pada saatnya masih bisa dikontrol dan tidak masalah. "Tetapi jika situasi ini berlangsung cukup lama, akan menjadi masalah besar," tegasnya.