REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Syarifudin merasa dijebak oleh KPK saat ia ditangkap. Sebab, ia menilai tudingan KPK atas dirinya menerima suap pada saat penangkapan itu tidak berdasar.
Menurut kuasa hukum Syarifudin, Junimart Girsang, ia sudah berbicara banyak dengan kliennya itu di Rumah Tahanan Cipinang, Jakarta, Jumat (3/6). Kepadanya, Syarifudin mengatakan bahwa ia merasa dijebak oleh KPK dalam kasus ini.
Alasan yang menguatkan pendapat kliennya itu adalah karena pada saat penangkapan, KPK tidak menangkapnya dalam keadaan melakukan tindak pidana suap. "Istilah KPK tangkap tangan itu tidak berdasar, klien saya pada saat di rumah sedang tidak melakukan transaksi suap menyuap," kata Junimart saat dihubungi Republika, Jumat (3/6).
Menurutnya, yang namanya tangkap tangan pada saat transaksi suap itu adalah penegak hukum menangkap penyuap dan penerima suap. Namun, pada penangkapan itu, kliennya tidak melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum.
Ditanya soal kepemilikan uang bernilai ratusan juta rupiah di rumahnya pada saat penangkapan, Junifer berkilah bahwa itu adalah uang pribadi milik kliennya. Ia menantang KPK untuk membuktikan bahwa uang itu adalah uang suap. "Memangnya klien saya dilarang punya uang, itu uang pribadi klien saya," ujarnya.
Seperti diketahui, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap tangan hakim Syarifudin Umar tengah menerima sejumlah uang di kediamannya di Sunter, Jakarta Utara, Rabu 1 Juni 2011 pukul 22.15 WIB. Uang ini diberikan kurator PT Sky Camping Indonesia (SCI) Puguh Witayan terkait kasus kepailitan perusahaan.
KPK juga telah menetapkan Hakim Syarifudin dan Puguh sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi berupa penyuapan. Pada penangkapan itu, KPK menemukan barang bukti berupa dua telepon genggam di luar yang dipegang, serta uang yang terdiri dari berbagai mata uang yaitu US $ 116.128, Sin $ 245.000, 12.600 riel Kamboja, 20.000 yen, dan Rp 392.353.000.