REPUBLIKA.CO.ID, METLAOUI - Sebelas orang tewas dan lebih dari 100 luka-luka dalam bentrokan sengit antar suku di kota Metlaoui, selatan Tunisia. Kekerasan yang terjadi akhir pekan lalu itu menyebabkan pemerintah setempat mengerahkan pasukan keamanan tambahan dan memperpanjang jam malam.
Bentrokan di Metlaoui antara dua suku yang kerap bersaing ini, bermula sejak Jumat (3/6) malam setelah pertengkaran dua pemuda. Orang-orang kemudian berperang dengan bom rakitan, senjata api, dan pedang di dalam kota yang terletak sekitar 400 kilometer barat daya ibukota Tunis itu.
"Orang-orang ketakutan," kata Ahmed Achouri, seorang warga Metlaoui. "Kami dalam perang yang sebenarnya... kami meminta keamanan yang lebih."
Media pemerintah menyebutkan tujuh korban tewas dalam siaran televisi, namun kemudian diralat menjadi 11 orang. Di antara korban terakhir adalah seorang pria 30 tahun yang ditikam hingga tewas pada Ahad (5/6) dini hari dan lainnya yang meninggal karena luka-luka pada Sabtu (4/6) malam.
Pada hari yang sama, seorang ayah dan putranya tewas setelah diserang oleh orang-orang dengan menggunakan pisau dan kayu. Dan pada Jumat, sehari sebelumnya, dua pria dan seorang wanita ditembak mati di salah satu kawasan miskin yang terdapat di Provinsi Gafsa tersebut.
Kedua belah pihak saling serang dengan senapan berburu, batang besi, pedang dan bom Molotov. Toko-toko di kota itu dijarah dan dibakar. Bentrok berdarah ini dipicu oleh "Arab Spring" (musim semi Arab) ketika protes populer memaksa Presiden Zine Abidine Ben Ali turun tahta pada Januari lalu.
Sejak kejatuhan Ben Ali, ketegangan antar suku berkobar di Metlaoui, yang didera oleh tingginya tingkat pengangguran. Dan para pemimpin baru negara itu berjuang keras untuk memulihkan stabilitas. Kini jam malam di Metlaoui diperpanjang dari 04:00 GMT (23.00 WIB) hingga 06:00 GMT (12:00 WIB) setiap hari.