REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terpidana pembunuhan aktivis HAM, Munir, Pollycarpus Budihari Priyanto, menjalani sidang peninjauan kembali hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Usai persidangan, Jaksa Penuntut Umum, Roland S Hutahaean, menilai PK tersebut janggal karena dilakukan terhadap PK yang sudah dilakukan terlebih dahulu oleh jaksa.
Padahal, ungkap Roland, berdasarkan pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, PK hanya dilakukan terhadap putusan berkekuatan hukum tetap. "Sementara putusan tetap itu sudah ada di kasasi di MA. Bukan di PK," ungkap Roland usai sidang di PN Jakpus, Selasa (6/7). Roland pun yakin PK tersebut tidak akan diterima oleh Mahkamah Agung karena dinilai melanggar Hukum Acara Pidana.
Koordinator Komite Aksi Sahabat Munir Choirul Anam, mengungkapkan hal senada. Menurutnya, PK atas PK pada praktiknya belum pernah dilakukan di dunia hukum di Indonesia. Oleh karena itu, ia mendesak majelis hakim agar tidak mengabulkan permohonan PK dari Pollycarpus.
Menurutnya, dibutuhkan hakim yang independen dan berani agar Pollycarpus tidak bebas untuk yang kedua kalinya. Choirul juga meminta keseriusan Kejaksaan Agung dalam perkara ini. Ia mengkritisi hadirnya seorang JPU baru yang menangani perkara PK ini. "Padahal dalam sidang PK sebelumnya jaksa yang hadir bisa lima-enam orang," tuturnya.
Bahkan Choirul mengaku mendapat informasi bahwa Pollycarpus akan dibebaskan pada Desember tahun ini. Menurutnya, informasi tersebut didapatkan dari berbagai pihak yang dekat dengan kekuasaan dari yudikatif dan eksekutif. "Mereka mengatakan Pollycarpus akan bebas Desember ini," ujarnya setelah sidang.
Dalam persidangan, tim kuasa hukum Pollycarpus, mengajukan dua bukti baru (novum) dalam persidangan PK tersebut. Bukti pertama adalah putusan kasasi atas Muchdi Pr yang membebaskan Muchdi dari putusan hakim di pengadilan tingkat pertama. Salah satu kuasa hukum, M.Assegaf, mengungkapkan putusan tersebut membuktikan tidak adanya hubungan antara Muchdi dan Pollycarpus dalam kematian Munir.
Assegaf menjelaskan hubungan telepon antara Muchdi dengan Pollycarpus sebanyak 41 kali yang disebutkan dalam dakwaan jaksa tanpa mengetahui isi percakapan tersebut tidak dapat digunakan sebagai bukti untuk menjerat Pollycarpus. "Adanya hubungan antara Polly dengan Muchdi menurut hemat kami tidak beralasan hukum," katanya menegaskan.
Bukti selanjutnya, tutur Assegaf, yakni perhitungan baru waktu terbang dari bandara Changi ke Amsterdarm dari Aircraft Flight. Menurut perhitungan tersebut, ungkapnya, waktu terbang pesawat Garuda GA-974 yang digunakan oleh Munir berdurasi 12 jam dan 25 menit. Sehingga, ungkapnya, bukan 12 jam seperti apa yang dikatakan oleh penyidik dan jaksa. Perhitungan tersebut, ungkapnya, membuktikan bahwa Munir tiba di Amsterdam pada 06.18 GMT dan berangkat dari Changi 17.53 GMT. "Maka dapat dipastikan keracunan Munir terjadi di pesawat," katanya menjelaskan.
Dalam putusan PK bernomor 109/Pid/2007, Mahkamah Agung membatalkan putusan hakim MA pada 2006 yang membebaskan terpidana dua puluh tahun penjara itu. Mahkamah Agung pun memutuskan bahwa Pollycarpus terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana pembunuhan berencana dan pemalsuan surat dalam peristiwa pembunuhan aktivis HAM, Munir sesuai dengan peninjauan kembali yang diajukan jaksa.
Pertimbangan hakim ketika itu adalah dari novum keterangan tiga orang saksi yang menyatakan bahwa Polly memberikan dua buah gelas minuman kepada Munir di Bandara Changi. Setelah itu, Munir melanjutkan perjalanannya ke Belanda. Lalu, tiga jam sebelum mendarat, Munir dinyatakan terkena racun arsenik.
Munir meninggal di atas pesawat Garuda Indonesia bernomor GA-974 dalam perjalanan menuju Amsterdam dari Jakarta pada 7 September 2004. Berdasarkan hasil tes, aktivis hak asasi manusia itu meninggal karena diracun zat arsenik.
Selain Polly, nama lain yang tersangkut kasus Munir yakni Muchdi Pr yang saat ini dapat bebas karena tidak terbukti terlibat dalam pembunuhan dalam putusan kasasi MA. Kejaksaan Agung hingga saat ini belum mengajukan PK terhadap Muchdi.