REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Kementerian Keuangan menetapkan tarif baru bea masuk film impor. Tarif tersebut berubah menggunakan tarif spesifik dari sebelumnya tarif ad volarum atau persentase. Tarif spesifik itu berdasarkan satuan, yakni Rp 21.000-22.000 per menit per copy film. Aturan itu berlaku sejak ditandatangani Peraturan Menteri Keuangan pada Kamis (16/6).
Menkeu Agus Martowardojo mengatakan, pengubahan pola tarif dari persentase menjadi spesifik berdasarkan hasil audit. Dalam tarif lama, bea masuk sebesar sepuluh persen dari royalti. "Untuk perfilman, ini berkeberatan karena nanti waktu impor belum tahu nilai royaltinya berapa," kata Agus di kantornya, Jumat (17/6).
Tarif persentase baru diketahui setelah film diputar, sehingga penghitungannya perlu waktu dan tidak sederhana. Sedangkan, tarif dengan pola spesifik itu tarif dihitung dengan dikalikan lamanya durasi daripada film tersebut. "Spesifik itu dikali lamanya durasi, dikali copy, karena di Indonesia satu judul film biasanya yang dimasukin itu 20-40 copy," katanya.
Tarif spesifik yang mulai berlaku itu, kata Agus, sudah dibicarakan dengan Menbudpar Jero Wacik dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Peraturan tersebut tinggal menunggu ditandatangani Menkumham Patrialis Akbar.
Dengan tarif spesifik itu, bea masuk untuk semua judul film sama. Artinya, tidak ada perbedaan tarif antara film box office dan tidak box office. Pola tarif spesifik memungkin importir bisa menghitung bea masuk sebelum memasukkan film ke Indonesia, sehingga bisa memperkirakan keuntungan film.
"Dia sebelum memasukkan barang menghitung dulu. Apakah ini akan laku atau tidak, kalau tidak laku, dia tidak boleh impor karena kalau tidak dia rugi," katanya.
Jika tarif terlalu murah seperti pola persentase, satu importir akan mengambil semua film. Akhirnya tercipta pasar yang sangat tidak fair kepada industri film dalam negeri. Peraturan tersebut dikeluarkan untuk menyederhanakan bea masuk film impor.
Mengenai tiga importir film yang belum menyelesaikan kewajiban, Agus menegaskan mereka tetap harus membayar. "Kita tegur dan kita minta untuk membayar seperti hasil audit," kata Agus menegaskan.