REPUBLIKA.CO.ID, PANGKALPINANG-- Pengamat hukum Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Pertiba Babel, Junaidi Abdillah, menilai pembentukan Satgas Pengawalan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) terkesan terlambat.
Ini karena dibentuk setelah banyak TKI mendapatkan perlakuan tidak manusiawi. "Meskipun Pemerintah RI baru membentuk Satgas pengawasan TKI, namun kami berharap Satgas ini bisa bekerja lebih baik, untuk membantu TKI yang disiksa majikan, dihukum seumur hidup dan bahkan dihukum mati," ujarnya di Pangkalpinang, Selasa.
Menurut dia, saat ini sebanyak 22 orang TKI yang bekerja di Arab Saudi terancam hukum mati dan tentunya masih banyak TKI yang mengalami penyiksaan di sejumlah negara-negara Arab yang memerlukan perhatian dan perlindungan pemerintah.
Ia mengatakan, pembentukan Satgas tersebut seharusnya telah dibentuk sejak dulu sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah terhadap keselamatan para TKI. Ia mengatakan, langkah terpenting yang harus diambil Pemerintah RI dalam menangani TKI ini adalah meningkatkan kualitas para TKI sebelum diberangkatkan ke negara tujuan TKI tersebut, seperti membekalidengan pengetahuan adat istiadat, bahasa, tradisi negara yang akan menjadi tujuan.
Selain itu, kata dia, Pemerintah RI harus membentuk posko-posko di setiap negara penerima atau pengguna TKI , sehingga pemantauan dan komunikasi dengan para TKI lebih efektif.
Meskipun telah dibentuk Satgas Pengawasan TKI, menurut dia, pengawasan terhadap setiap PJTKI harus tetap ditingkatkan untuk mengantisipasi adanya pengiriman TKI ilegal. "Selama ini ada beberapa PJTKI yang mengirimkan TKI ilegal ke beberapa negara akibat kurangnya pantauan pemerintah, sehingga banyak TKI yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi," ujarnya.