REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pemerintah belum memprioritaskan penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Salah satu alasan karena ancaman inflasi yang akan berdampak pada sebagian besar masyarakat terutama kelompok berpenghasilan menengah dan bawah.
"Kalau bicara inflasi maka kita bicara harga kebutuhan pokok yang dikonsumsi mayoritas masyarakat, kalau ada gejolak inflasi di luar perkiraan maka yang paling menderita adalah kelompok masyarakat ini," kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta, Jumat (28/7).
Menurut dia, masalah anggaran tidak semata-mata merupakan masalah ekonomi tetapi menyangkut proses politik atau keputusan politik, yang kadang-kadang tidak dapat dijelaskan dengan konsep ekonomi yang dasar.
Ia mencontohkan pengalaman selama 2010 di mana pemerintah dan Bank Indonesia sepakat menetapkan target inflasi adalah sebesar 5,3 persen. Hingga kwartal ketiga 2010, semua pihak masih optimis bahwa target inflasi dapat tercapai atau kalau lebih akan sedikit saja.
Namun menjelang kuartal IV terjadi kondisi yang tidak diperkirakan sebelumnya yaitu adanya gejolak harga pangan dan gejolak harga energi. Sementara pemerintah boleh dikatakan tidak siap menghadapi kondisi itu karena memang di luar perkiraan.
Saat itu realisasi inflasi mencapai hampir 7,0 persen atau tepatnya 6,9 persen dibanding target 5,3 persen. Pemerintah kemudian merespon kondisi tersebut dengan kebijakan yang lebih ketat pada semester I 2011.
"Inflasi kita dari 1 Januari hingga 30 Juni memang angkanya masih cukup melegakan, karena baru mencapai 1,06 persen. Namun tidak bisa dilupakan bahwa kemungkinan gejolak inflasi akan terjadi di paruh kedua, baik karena faktor musiman hari raya, maupun faktor harga komoditas yang mungkin akan sulit turun, baik energi maupun pangan," katanya.
Menurut dia, pemerintah punya pertimbangan bahwa jika inflasi ini tidak dijaga dan kemudian terjadi kebijakan terkait dengan BBM bersubsidi, dikhawatirkan inflasi bisa menjadi tinggi dan tidak terkendali.
Ia menyebutkan, jika terjadi gejolak inflasi maka kelompok yang paling menderita adalah lapisan bawah masyarakat. Sementara kenaikan harga akan langsung menurunkan daya beli mereka.
"Mungkin ini bisa dijadikan salah satu penjelasan mengapa masalah penyesuaian BBM bersubsidi belum dijadikan prioritas," katanya.
Menurut dia, jika saat ini harga beras dan beberapa komoditas lainnya mengalami kenaikan, hal itu memang sudah diperkirakan sebelumnya dan itu memang selalu terjadi setiap tahun. Pada setengah tahun kedua ketika panen raya sudah lewat, maka harga beras akan naik.
Pemerintah harus mewaspadai ancaman inflasi meski realisasi paruh pertama 2011 hanya mencapai 1,06 persen karena potensi yang ada pada beberapa waktu ke depan adalah inflasi, bukan deflasi.
Bambang mengaku bahwa ke depan memang kualitas anggaran negara perlu ditingkatkan misalnya mengupayakan agar subsidi dapat dirasakan oleh masyarakat yang masih hidup dalam kesulitan.
"Misalnya mengenai subsidi yang dalam APBNP 2011 sudah di atas Rp230 triliun padahal sebelumnya di bawah Rp200 triliun baik subsidi energi maupun non energi padahal total belanja hanya Rp1.300 triliun," katanya.
Ia menyebutkan, subsidi yang diterapkan saat ini adalah subsidi yang tidak tepat sasaran karena sifatnya subdisi terhadap harga sehingga banyak pihak yang sebenarnya tidak berhak menikmati subsidi.