REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pemilu presiden masih tiga tahun lagi. Namun partai-partai politik sudah mulai menghembuskan nama-nama calon presiden yang bakal menggantikan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopohukam) Djoko Suyanto, dan mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani adalah dua nama figur capres yang sudah ditimang-timang parpol.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada Arie Sudjito berpendapat, kemunculan nama Djoko dan Sri Mulyani hanyalah bagian dari upaya Partai Demokrat untuk mencari figur capres yang mumpuni sekaligus dekat dengan SBY.
Alasannya, SBY yang masih menjadi figur penentu di dalam Partai Demokrat sejauh ini belum mempunyai sosok yang pas untuk melanjutkan kekuasaannya. "Istilahnya, ini penjajakan atau ujicoba, bagian dari bursa politik," kata Arie, Senin (8/8).
Arie melanjutkan, selama ini baik Djoko Suyanto dan Sri Mulyani adalah dua figur elit yang dikenal memiliki kedekatan dengan SBY. Kisruh internal Partai Demokrat pasca kongres di Bandung dan sapuan badai politik kasus Nazaruddin, mempertegas keputusan SBY agar tidak memajukan Anas Urbaningrum menjadi capres dari Partai Demokrat.
Terlebih, kemenangan Anas menjadi Ketua Umum Partai Demokrat sejatinya tidak terlalu mendapat restu penuh dari SBY. "SBY sadar Anas tidak bisa dicalonkan, makanya setelah Anas harus ada orang lain dan Djoko Suyanto dan Sri Mulyanilah yang masuk bursa," kata Arie.
Menurut Arie, gejala kemunculan nama capres yang jauh dari waktu pelaksanaan pemilu merupakan tipikal gaya politik di Indonesia. Parpol selalu mengedepankan wacana figur capres dan bukan jejak rekam atau agenda perubahan nasional.
Akhirnya, rakyat pun digiring untuk memilih figur untuk menduduki kekuasaan pemerintahan dibandingkan agenda perubahan kemajuan nasional.