REPUBLIKA.CO.ID,KUALA LUMPUR - Pemerintah Malaysia dinilai memberlakukan pembatasan "sangat tinggi" terhadap kebebasan menjalankan aktivitas keagamaan warga negaranya. Demikian kesimpulan hasil riset tentang Agama dan Kehidupan Publik yang dipublikasikan Forum Pew Research Center pada Rabu (10/8).
Forum Pew Research Center menyebutkan dari 198 negara, ada 10 negara yang memberlakukan pembatasan kebebasan beragama. Sepuluh negara itu adalah Mesir, Iran, Cina, Myanmar, Malaysia dan Indonesia. Thailand dan Singapura dinilai moderat, Sedangkan Filipina memberlakukan pembatasan tergolong rendah.
"Pemerintah Malaysia meningkatkan pembatasan secara substansial terhadap kebebasan beragama. Demikian pula dengan Mesir. Meski kedua negara dalam konstitusinya menjamin kebebasan beragama, namun dalam prakteknya, Malaysia mengawasi pelaksanaan ajaran Islam dan praktik-praktik yang tidak sesuai dengan Islam Sunni, " demikian bunyi Laporan yang berjudul "Meningkatnya Pembatasan dalam Agama'' seperti dikutip dari The Malaysia Insider.
Malaysia disebutkan memonitor lebih dari 50 kelompok Muslim yang dianggap ortodoks. Dalam beberapa kasus, beberapa kelompok diduga menyimpang. Dengan mengutip laporan Freedom International yang dikeluarkan Departemen Luar Negeri AS, Forum Pew Research Center menyebut pemerintah Malaysia mengharuskan mereka yang menyimpang untuk mengikuti program rehabilitasi.
Pemerintah Malaysia juga terus membatasi keyakinan Muslim yang dianggap menyimpang, seperti Syiah dan Wahhabi. Dewan Keamanan Nasional baru-baru ini meminta otoritas keagamaan negara untuk memantau dan menindak aliran Wahhabi serta menempatkan beberapa ulama Muslim terkemuka pada daftar pantauan teror.
Laporan itu juga mengatakan selama periode tiga tahun, tingkat kekerasan dan pelecehan terkait dengan agama cenderung meningkat. Hanya satu persen dari 198 negara yang menjalankan sikap toleransi dengan baik.
Pew Forum merupakan lembaga berbasis di Washington yang didirikan pada 2004. Lembaga ini merupakan inisiatif dari mantan Menteri Luar Negeri AS Madeleine Albright dan mantan Duta Besar AS untuk PBB John Danforth. Semenjak berdiri, lembaga ini konsen dengan penelitian aspek-aspek penting dari agama dan kehidupan publik.