REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Setelah gagal disahkan pada masa sidang DPR pada periode lalu, Komisi II tampaknya mulai tancap gas untuk segera menyelesaikan salah satu undang-undang (UU) paket politik yang tersisa.
"Kita menuntaskan tahapan kewenangan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan ke bawah sampai ke Tempat Pemungutan Suara (TPS)," kata Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PAN, Abdul Hakam Naja, Jumat (19/8).
Tak hanya itu, Komisi II juga sedang melakukan penyempurnaan tentang penyelesaian tugas-tugas yang diemban oleh masing-masing penyelenggara pemilu. Seperti hal-hal yang menjadikan mereka diberhentikan dan berhenti. Termasuk berhenti karena melakukan pelanggaran. "Hal krusial dan sedang dibahas saat ini adalah diskusi tentang menghidupkan PPS (panitia pemungutan suara)," katanya.
Dulu, suara di TPS langsung diberikan ke Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK). Namun dalam revisi UU Penyelenggara Pemilu ini sedang dipertimbangkan agar Panita Pemungutan Suara (PPS) beralih ke PPK atau langsung ke KPUD, termasuk untuk membawa kotak suaranya. "Masih diperdebatkan apakah semua tingkatan harus dilalui dari TPS-PPS-PPK-KPU atau dihilangkan saja,” kata Hakam.
Alasan yang mengemuka antara lain faktor geografis dan pemilihan manual yang masih dilakukan. Artinya, PPS dihidupkan lagi dan PPK difungsikan. Selain itu, rapat yang dilakukan Komisi II di awal masa sidang periode 2011-2012 ini pun membahas soal syarat anggota KPU dan Bawaslu untuk mundur dari keanggotaan partai politik.
Hingga saat ini belum ada kesepakatan dari pemerintah dan DPR mengenai batas waktu yang seseorang boleh berada di KPU dan Bawaslu. "Tampaknya antara 1-2 tahun sebelum mencalonkan diri sebagai anggota KPU dan Bawaslu, orang tersebut harus dari parpol," katanya.
Menurut Hakam, jangka waktu tersebut sudah cukup lama terlebih lagi waktu untuk menyeleksi keanggotaan KPU dan Bawaslu sudah memakan waktu satu tahun.