REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Pencabutan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (UU MK) Nomor 8/2011, dinilai DPR sebagai cara yang tidak terhormat. Dalam pembahasan UU tersebut, DPR mengaku sudah berkali-kali membahasnya bersama pihak MK.
"Tiba-tiba saja dicabut olehnya," jelas Anggota Komisi III DPR, Nudirman Munir, saat dihubungi, Rabu (19/10). Dia bertanya-tanya ada apa dibalik pencabutan tersebut. Padahal, ketika UU itu diparipurnakan, pihak MK datang dan menyaksikan sendiri. Mereka sudah terlibat penuh dalam pembahasan UU MK.
Nudirman menyatakan tidak mungkin DPR membuat UU itu agar MK tak mampu menjalankan tugas. Pihak DPR mengaku apa yang mereka bahas tentu sudah mempertimbangkan kemampuan MK. "Ini untuk kemaslahatan bersama," jelasnya.
Dia mengatakan apa yang dilakukan MK sungguh melukai hati rakyat dan cenderung tidak fair. UU tersebut dibahas dan disetujui lebih dari 500 anggota dewan. Sedangkan MK mencabutnya hanya dengan sembilan hakim konstitusi. "Ini terkesan tidak demokratis," jelasnya.
Dia mengatakan seharusnya MK menerima saja UU itu, karena sudah dibahas dalam waktu lama. "Kita undang semua yang berkepentingan dengan UU ini," jelas Nudirman. Pakar-pakar dari Unibersitas Andalas seperti Saldi Isra, dan lainnya, menurut Nudirman, juga sudah diminta pendapat seputar revisi UU ini.
Mereka yang terlibat sebagai pemohon uji materi adalah pakar-pakar hukum dari berbagai perguruan tinggi yaitu Saldi Isra, Yuliandri, Zainul Daulay, dan Feri Amsari dari Universitas Andalas; Zainal Arifin Mochtar (UGM); Muchamad Ali Safaat (UI); Fauzan; dan Arief Hidayat (Universitas Diponegoro). Kuasa hukum pemohon adalah para pengacara muda yaitu Taufik Basari, Wahyudi Djafar, Donal Fariz, Jamil, dan Veri Junaidi.
Pada mulanya MK melakukan uji materi terhadap pasal-pasal yang dinilai merusak dan melemahkan MK sebab UU MK yang baru itu merupakan hasil kompromi DPR dan pemerintah yang disahkan Juli lalu. Pasal-pasal yang dinilai bermasalah adalah Pasal 4 Ayat f, g, dan h; Pasal 15 Ayat 2 Huruf f; Pasal 26 Ayat 5; Pasal 27A Ayat 2 Huruf c, d, dan e; Pasal 50A; Pasal 45A juncto Pasal 57 Ayat 1, Ayat 2, dan Ayat 2a; Pasal 59 Ayat 2; serta Pasal 87.
Dari 10 pasal yang dimohonkan uji materi, hanya satu yang ditolak MK yaitu Pasal 15 Ayat 2 Huruf d yang mengatur persyaratan minimal calon hakim MK. Ketentuan ini mengubah syarat umur calon hakim konstitusi dari 40 tahun menjadi 47 tahun yang dinilai MK adalah bentuk kebijakan hukum terbuka yang sewaktu-waktu bisa diubah.