REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Sebanyak dua hakim Mahkamah Konstitusi (MK), yakni Akil Mochtar dan Hamda Zoelva, berbeda pendapat (dissenting opinion) terkait putusan permohonan pengujian Pasal 113 ayat (2) UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan yang menyebut tembakau sebagai zat adiktif.
Dalam putusan terhadap permohonan yang diajukan Bambang Sukarno, yang mewakili petani tembakau, MK tidak secara bulat menolak pengujian Pasal tembakau tersebut.
"Pokok permohonan pemohon tidak beralasan hukum, menyatakan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis hakim MK, Mahfud MD, saat membacakan amar putusannya di ruang sidang MK Jakarta, Selasa (1/11).
Mahkamah berpendapat tembakau bukan subyek hukum, melainkan hanya objek hukum Pasal 113 ayat (2) yang menurut pemohon dibedakan dengan produk lain yang juga mengandung zat adiktif, sebab pembedaan yang dapat menimbulkan diskriminasi hukum hanya menyangkut subjek hukum, bukan pembedaan terhadap objek hak berupa benda (tembakau) sesuai Pandapat Umum Komisi Tinggi HAM PBB No. 18 Tahun 1989.
Menurut mahkamah, penyebutan tembakau sebagai zat adiktif dalam Pasal 113 tidak menjadikan hanya tembakau yang termasuk zat adiktif secara ekslusif. "Pasal 113 UU Kesehatan tidak melanggar larangan diskriminatif sesuai Pasal 28I ayat (2) UUD 1945," kata hakim konstitusi, Anwar Usman.
Sedangkan Hakim Konstitusi Akil Mochtar, dalam dissenting-nya menilai pasal 113 ayat 2 UU Kesehatan ada kepentingan tersembunyi yang bertujuan agar tanaman tembakau (bahan baku utama industri rokok) adalah satu-satunya zat yang mengandung adiktif.
"Ini kepentingan bisnis perdagangan produk nicotine Replacement Therapy (NRT) tanpa memperhatikan dampaknya kepada petani tembakau dan industri rokok yang memiliki hak ekonomi, sosial, dan budaya yang dijamin UUD 1945," kata Akil.
Menurut Akil, pembatasan tembakau sebagai zat adiktif tidak memperhatikan fakta sekitar 6 juta rakyat Indonesia yang hidup bergantung pada tembakau. "Apalagi industri tembakau menjadi kontributor terbesar pendanaan APBN," bebernya.
Karena itu, katanya, seharusnya Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan pemohon dengan menyatakan sepanjang frasa "tembakau, produk yang mengandung tembakau" pada Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan bertentangan dengan UUD 1945.
Sedangkan Hamdan berpendapat keresahan pemohon beserta petani tembakau atas keberadaan Pasal 113 ayat (2) seharusnya bisa dipahami mengapa hanya tembakau dan produk tembakau yang disebutkan sebagai zat adiktif yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat.
Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan baginya yang seharusnya dijamin Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
"Ada rasa kekhawatiran dari petani tembakau akan terancamnya sumber penghidupan mereka yang secara turun-temurun menanam tembakau untuk mempertahankan hidup dan penghidupannya seperti yang dijamin Pasal 28A," kata Hamdan.
Hamdan mengakui bahwa rokok mengganggu kesehatan bagi penggunanya, namun apakah dengan sendirinya tembakau dan produk lainnya membahayakan perseorangan, keluarga, masyarakat, dan lingkungannya adalah sesuatu yang perlu diteliti lebih lanjut.
"Karena itu, yang seharusnya dikendalikan dan dibatasi adalah produk rokok yang sudah jelas membahayakan kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungan masyarakat, bukan tembakaunya," kata Hamdan.
Hamdan mengatakan untuk memulihkan dan menjamin rasa keadilan para petani seharusnya Mahkamah mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian dengan membatalkan Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan karena bertentangan dengan UUD 1945.
"Dihilangkannya Pasal 113 ayat (2) itu tidak dengan sendirinya menghilangkan kewenangan pemerintah untuk mengendalikan tembakau dan segala produknya karena kewenangan itu masih dimungkinkan berdasarkan Pasal 116 UU Kesehatan".
Bambang Sukarno sebelumnya mengajuan permohonon uji materi Pasal 113 ayat (2) UU Kesehatan yang menyatakan tembakau dan produk yang mengandung tembakau sebagai zat yang bersifat adiktif.
Ketentuan itu dinilai bertentangan dengan asas keadilan karena hanya mencantumkan jenis tanaman tembakau. Padahal, banyak jenis tanaman pertanian lain yang juga mempunyai dampak kurang baik bagi kesehatan.
Selain itu, pasal itu dinilai tidak memberikan kepastian hukum dalam kelangsungan kehidupan bagi petani tembakau dan cengkeh Indonesia, berkurangnya tenaga kerja sektor pertanian, tenaga kerja/buruh pabrik rokok, dan pihak terkait lainnya.