REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA-- Pakar hukum Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, I Wayan Titib Sulaksana, menilai, insiden penembakan warga sipil yang terjadi di Sumenep (6/10) dan Sepande-Sidoarjo (28/10) menunjukkan perlunya kontrol terhadap bintara pemegang pistol.
"Penembakan kalangan sipil selama ini umumnya dilakukan kalangan bintara, karena itu perlu ada kontrol untuk bintara pemegang pistol, apakah pelatihan, tes psikologi, dan sebagainya," kata dia, Ahad.
Dalam dua peristiwan itu, warga bernama RB Ridwan di Sumenep tewas. Ia ditembak saat membeli jamu di warung. Sementara Riyadis Solikin di Sepande, Candi, Sidoarjo juga ditembak karena menabrak seorang oknum polisi.
Menurut Wayan Titib Sulaksana, pelatihan untuk kalangan bintara juga harus dibenahi karena tindakan mereka yang emosional merupakan pelanggaran kemanusiaan.
"Menghilangkan nyawa warga sipil adalah pelanggaran hak hidup yang dilindungi UUD 1945. Pelanggaran hak hidup itu dapat dikategorikan pelanggaran HAM, karena Pasal 28-i UUD 1945 mengatur tujuh hak warga/masyarakat yang tidak bisa dikurangi negara dalam keadaan apa pun," kata dia.
Almarhum Riyadis Solikin adalah warga RT 01/01 Sepande Kauman, Candi, Sidoarjo yang tewas pada 28 Oktober 2011 pukul 02.30 WIB, sedangkan RB Ridwan adalah Wakil Ketua Golkar Sumenep.
Kalau almarhum RB Ridwan terkena "salah sasaran" saat polisi menembak pelaku pencurian kendaraan bermotor, maka almarhum Riyadis Solikin tewas akibat tembakan "tepat sasaran" oleh Briptu Eko Ristanto. Riyadis sempat melarikan diri setelah mobil antarjemput buruh pabrik PT Ecco Indonesia yang disopirinya menabrak Briptu Widianto.
Akibat kematian Riyadis Solikin itu, Tim Penyelesaikan Kasus (TPK) Polda Jatim menetapkan Briptu Eko Ristanto sebagai tersangka dan dijerat dengan pasal pembunuhan (338 KUH) dan empat rekannya menjalani sidang disiplin. Briptu Widianto yang ditabrak almarhum masih dirawat di rumah sakit.