REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK - Larangan keras menghina raja Thailand lama dikenal dunia. Seorang warga Amerika Serikat rupanya tak memedulikan aturan itu dan menuai konsekuensi tak sepele.
Pengadilan di Thailand, Kamis (8/12) memenjarakan pria AS tersebut dua setengah tahun atas pernghinaan terhadap raja. Keputusan itu dikecam negara adidaya itu, yang menyatakan ia menggunakan hak kebebasan berbicara.
Perkara Joe Wichai Commart Gordon---yang muncul di pengadilan dengan diborgol--masuk dalam undang-undang ketat kejahatan terhadap kerajaan. Joe, yang juga pegiat hak asasi menuding UU itu digunakan untuk membungkam kebebasan mengungkapkan pendapat.
Pengadilan pidana menjatuhkan hukuman lima tahun penjara kepada orang kelahiran Thailand, namun mengurangi setengahnya, karena penjual mobil dari Colorado itu mengaku bersalah atas penerbitan maya atas kisah hidup terlarang Raja Bhumibol Adulyadej, yang diterjemahkannya ke bahasa Thailand.
"Joe memutuskan tidak naik banding, tapi akan meminta ampunan kerajaan," kata pengacara Arnon Nampa kepada wartawan di Bangkok. "Pengadilan memberi hukuman penjara paling ringan untuk perkara kejahatan terhadap kerajaan itu. Ia sudah di penjara enam bulan. Perkara terburuk adalah dua tahun lagi di penjara, tapi saya harap ia mendapat ampunan kerajaan," katanya.
Pria 55 tahun itu ditangkap pada Mei dalam kunjungan ke kerajaan itu dan dituduh menyiarkan bahan dianggap menyerang ketika tinggal di Amerika Serikat. Di bawah undang-undang kejahatan terhadap kerajaan Thailand, siapa pun menghina raja, ratu, ahli waris atau adipati menghadapi sampai 15 tahun penjara pada setiap tindakan.
Pejabat tinggi Amerika Serikat mempertanyakan keputusan pengadilan itu memenjarakan Gordon. "Kami menganggap hukuman itu berat, karena ia dihukum untuk hak mengungkapkan pendapatnya," kata Konsul Jenderal Amerika Serikat Elizabeth Pratt kepada wartawan.
"Kami terus menghormati kerajaan Thailand, tapi kita juga mendukung hak menyatakan pendapat, yang secara antarbangsa diakui sebagai hak asasi manusia," katanya. Washington, yang menilai Thailand sebagai salah satu sekutu tertuanya, pada Selasa menyuarakan bahaya atas serangkaian perkara pengadilan di kerajaan itu atas pidato dianggap menyerang kerajaan itu.
Dalam amar mengecewakan pegiat, Ampon Tangnoppakul (61 tahun) pada bulan lalu dijatuhi hukuman penjara 20 tahun atas empat tuduhan mengirim pesan ke sekretaris pribadi mantan perdana menteri Abhisit Vejjajiva pada Mei 2010. Eropa Bersatu menyatakan "sangat prihatin" atas hukuman itu.
Pengecamnya menuduh Thailand meningkatkan penggunaan undang-undang itu sebagai cara menekan kebebasan menyatakan pendapat, khususnya di bawah pemerintah lalu, yang didukung elit berpusat di Bangkok. Pengamat menyatakan pemerintah baru Perdana Menteri Yingluck Shinawatra, yang berkuasa pada Agustus, belum memperbaiki keadaan itu.
"Keparahan hukuman untuk kejahatan terhadap kerajaan di Thailand mengejutkan," kata pernyataan Brad Adams, direktur Asia Human Rights Watch, yang berpusat di New York, pada pekan lalu. "Pemerintah baru tampaknya akan menanggapi pertanyaan tentang kesetiaan mereka kepada kerajaan dengan mengajukan tuduhan tak terhitung atas kejahatan terhadap kerajaan," katanya.
Sekelompok pegiat, yang menentang undang-undang itu, merencanakan "jalan tanpa takut" di Bangkok pada Sabtu untuk mendukung Ampon dan tahanan politik lain. Kendati terjadi unjukrasa, pemerintah Thailand pada Rabu menyatakan membentuk panitia untuk menekan laman, yang dianggap menghina kerajaan.
Wakil Perdana Menteri Yubumrung Chalerm menyatakan akan mengetuai sidang pertama kelompok itu pada pekan ini, termasuk perwakilan dari polisi, kementerian dalam negeri dan lembaga lain terkait. Raja lemah Thailand, yang berusia 84 pada Senin, memerintah 65 tahun, tapi berada di rumah sakit sejak September 2009. Setiap pembicaraan tentang keluarga kerajaan sangat rawan di negara tersebut.