REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD mengatakan, pascareformasi pada 1998, tidak ada lagi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terencana yang dilakukan negara. Yang terjadi sekarang, adalah pelanggaran HAM secara horisontal antara warga yang menyerang warga lainnya.
Menurut Mahfud, kalau ada pelanggaran HAM yang dilakukan aparat TNI maupun Polri, kondisi itu terjadi secara insidental. Misal, terjadi bentrok antara aparat dengan warga dalam kasus konflik tanah yang masih marak terjadi. Namun, hal itu dilakukan aparat secara spontanitas dan tanpa terencana.
"Tak ada lagi pelanggaran secara sistematis, masif dan terstruktur seperti zaman dulu," kata Mahfud saat
menjadi keynote speaker dalam peluncuran buku karya Muladi di Gedung Lemhamnas, Senin (12/12).
Terkait temuan Komnas HAM tentang adanya pelanggaran HAM besar-besaran di Papua yang dilakukan aparat terhadap masyarakat, Mahfud menegaskan temuan itu tidak perlu dipercayai. Begitu juga dengan temuan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) tentang pelanggaran HAM dalam kasus sengketa lahan lebih baik dijadikan bahan kajian pemerintah saja.
Dengan menjadikannya sebagai bahan kajian, kata Mahfud, kalau di masa depan benar-benar terjadi pelanggaran HAM skala besar, bisa dihindari sedini mungkin. Hal itu mengingat potensi pelanggaran HAM yang di masa akan datang sangat potensial terjadi.
"Jadi, temuan Komnas HAM itu tak usah terlalu dipercaya. Tapi kita harus melihat kemungkinan pelanggaran HAM itu masa depan akan ada," jelas Mahfud.
Elsam mencatat pelanggaran HAM dalam sengketa lahan di Indonesia jumlahnya sangat tinggi. Hingga November 2011, kasus dengan latarbelakang sengketa lahan sesuai data Komnas HAM menunjukkan 603 pengaduan.
Begitu juga dalam kasus yang masuk ke Satgas Pemberantasan Mafia Hukum (PMH) per 20 Oktober 2011, mencapai 1.065 pengaduan, atau 22 persen total pengaduan yang diterima Satgas PMH.
Direktur Elsam Indriaswati Dyah Prasetyaningrum mengatakan, sesuai catatan lembaganya terjadi 151 peristiwa dengan latarbelakang konflik lahan antara warga berhadapan dengan perusahaan maupun institusi negara.
Berbagai peristiwa tersebut, kata dia, terjadinya kriminalisasi terhadap warga yang bersengketa dengan perusahaan, konflik yang berujung pada kekerasan berupa penyerangan aparat, penembakan, bentrokan, pembunuhan dan sejumlah tindak kekerasan lainnya.
Menurut Indriaswati, kondisi itu jelas kontradiksi dengan pidato Presiden SBY pada Mei lalu, yang menyatakan berkomitmen untuk menyelesaikan berbagai konflik lahan yang terjadi di Indonesia.
Ia mengatakan, hampir semua sengketa konflik lahan dipicu warisan masalah sengketa tanah yang tak pernah terselesaikan. Kemudian masyarakat dengan berbagai upaya berjuang untuk mendapatkan hak mereka kembali.