REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Modus-modus tindak pidana pencucian uang kerap dilakukan dengan pembelian properti seperti rumah dan kendaraan mewah. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta agar pelaku properti dapat menjadi pelapor terhadap orang yang diduga melakukan pencucian uang.
"Ada pejabat yang membeli rumah mewah secara tunai dan bahkan membayarnya dengan menggunakan traveller cheque, ini kan sulit dilihat aliran uangnya. Makanya pelaku properti, pedagang emas dan barang antik dapat melaporkan orang yang membeli propertinya itu," kata Ketua PPATK, Muhammad Yusuf dalam acara 'Menelusuri Jejak Uang Haram Hasil Pencucian Uang dalam Transaksi Perbankan dan Properti' di Hotel Mega Anggrek, Jakarta, Selasa (10/1).
Yusuf menambahkan pelaku properti tidak perlu takut untuk melaporkan orang yang dicurigainya telah melakukan pencucian uang kepada pihak penegak hukum. Kalau memang duit untuk membeli properti miliknya halal, ia menambahkan tidak akan menjadi masalah.
Selain pelaku properti, ia juga meminta agar pengacara dan notaris juga ikut aktif dalam melaporkan orang yang diduga melakukan pencucian uang. Pasalnya jika orang membeli rumah mewah, akan disertai dengan notaris. Begitu pun jika ada seorang pegawai negeri sipil (PNS) yang menyewa pengacara besar, hal itu pun menurutnya patut dicurigai.
"Seorang tersangka dari PNS tapi menyewa pengacara besar seperti kasus Gayus Tambunan dan Nazaruddin. Gaji mereka sebagai PNS berapa sih, tapi bisa menyewa pengacara yang harganya Rp 500 juta hingga Rp 1 miliar. Uangnya dari mana? Pengacara juga harusnya melapor," imbuhnya.
Menurutnya, ia telah mengusulkan agar pengacara dan notaris dapat berperan aktif dalam melaporkan kasus pencucian uang, namun gagal di DPR. "Komisi III DPR kan isinya kebanyakan pengacara, jadi usul ini gagal," ucapnya sambil tersenyum kecil.